Part 3. Pertemuan Pertama

39 4 0
                                    

Wait, a minute ...

Terpantau banyak siders di sini!

🙄😬

Budayakan like sebelum membaca!

😍

Silakan membaca 🤗

***

“Nazil, apa yang kamu katakan. Jika kamu hanya mengatakan setengah-setengah aku tidak akan paham,” keluhku secara gamblang.

“Kamu sudah tahu maksudku.” Pikiranku kembali jatuh kepada setiap ucapannya yang masih sama seperti masa SMA dulu, mungkinkah yang ia bicarakan gadis yang disukainya?

Aku ingat benar ia mengatakan tentang gadis yang disukainya dan aku antusias sampai menanyakan nama dan kelas, tetapi Nazil merahasiakannya. Aku terdiam sejenak, mencoba menelan kata-katanya.

“Tak mungkin, kamu dulu mengabaikan perasaanku meski aku mengungkapkan berkali-kali jika aku mencintaimu ….”

“Aku bukan mengabaikannya, hanya tak ingin membahasnya sebelum waktunya.”

“Lalu, apa ini waktunya?” tanyaku sembari tertawa receh, menganggap ini hanya candaan.

“Saat itu kamu yang mengatakan empat tahun lagi kamu akan memprioritaskan seseorang setelah memprioritaskan semua impianmu. Aku sudah membantumu mencapai impian itu,” ucapnya yang langsung dijawab hujan yang turun deras. Sontak aku menatap ke kaca mobil, mendapati setetes air berjatuhan dengan cepat.

Hatiku menyangkal semua ini, patah hati terbesar adalah setiap ekspektasi dan harapanku dipatahkan begitu saja. Aku sudah tak pernah mengharapkan perasaan ini, semua sudah kuterima, dan kujalani apa adanya sebagai rekan kerja. Ini seperti tamparan keras yang menyadarkanku dari pemikiran negatif selama ini.

Dulu aku sangat mengharapkan cinta juga ada dalam dirinya dan beranggapan sikapnya selama ini hanya selimut dari perasaan itu.

Namun, saat rasa ini sudah terasa wajar dan nyaman dengan hubungan yang tak pernah ada kata putus dan tetap saling mendukung, bukankah cinta seperti bom yang meledak sekarang?

Lagipula, tidakkah ia terlalu kejam membuatku memikirkannya dan terluka beberapa lama, bahkan sampai terluka berulang kali dan bersikeras untuk memaafkan karena cinta.

Tanganku pun tergerak untuk membuka pintu, hatiku terasa pilu sekarang bahkan untuk bersamanya aku tak mampu. Memilih keluar mobil begitu saja dan mencari kendaraan untuk pulang adalah pelarian, tetapi aku tak peduli lagi.

Terus berlari menyusuri tepi jalan tanpa menghiraukan panggilannya dari jauh, tak peduli kakiku pergi ke arah mana asal hatiku tak jatuh lebih dalam kepadanya.

Hingga sampai di bangku taman aku menjatuhkan diri dan menangis sejadi-jadinya. Sudah berulangkali Nazil melukai, tetapi aku terus saja memaklumi dan memaafkannya.

Kali ini aku sudah yakin menjalani hubungan ini hanya sebagai teman kerja, tidak lebih. Lalu, kenapa ia menghancurkan perasaanku lagi? Mengobrak-abrik dan memainkannya sesuka hati. Tak peduli lagi hujan membasahi, aku tetap ingin di sini menangis seperti ini.

Namun, saat aku benar-benar ingin menikmati kesedihan ini sendiri, hujan berhenti. Tidak, di sekeliling masih hujan deras, tak mungkin di tempatku saja yang berhenti.

Lantas, saat mendongak kudapati payung abu-abu dan sebuah tangan putih dengan buku-buku jari yang memutih. Jemari panjang dan lentik dengan kulit putih ditambah air hujan mengalir dari lengannya. Rupanya ia memayungiku dan mengorbankan dirinya untuk kehujanan.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now