58. Diary Depresi

14 0 0
                                    

"Hiks, saya ga kuat sebenernya, Gus. Tiga tahun ini berat buat saya," ungkapku.

Brakkk!

Pyaarrrr!

"Noraaaa! Di mana kamu?" Teriakan itu terus menggema. Barang berjatuhan dan suara pecahan pun terdengar. Bukan lain, itu suara yang diciptakan oleh kemarahan suamiku-Agatha Prameswari. Kepribadian gandanya selalu muncul tiba-tiba. Ia lelah dengan pekerjaan, marah atas sesuatu, dan alasan sepele lainnya.

Sementara aku, menangis tergugu di pojok kamar sambil merengkuh diri. Memegangi lutut dengan kuat karena takut. Aku akan beruntung jika tak ditemukannya, tetapi saat ....

Braakkk!

"Aakkhhh!" teriakku sambil menutup telinga saat pintu didobrak paksa.

"Di sini kamu rupanya," gumamnya sembari tersenyum miring.

Aku menggeleng, "Mas, tenangkan diri dulu!" jeritku.

"Kamu membohongi saya, bagaimana saya bisa tenang? Kamu tidak mencintai saya!"

"Enggak, Mas, saya ... aaakkkhhh!" Ia mencengkeram leherku dengan kuat. Bulir bening mengalir karena rasa sakit, aku mendongak karena kehabisan napas. "Sa-sakit," rintihku.

Plaaakkkk!

Satu tamparan mendarat di pipi, "Pembohong! Saya tahu kamu masih sering bertemu dengannya di kampus!"

Bughhhtt!

"Aakhhh!" rintihku saat terdorong dengan keras ke dinding, hingga berakhir jatuh tersungkur ke lantai.

Sedangkan ia langsung pergi begitu saja meninggalkanku menangis di sana. Tak cukup di sana, keesokan paginya, ia bangun tanpa mengingat apapun dan tanpa merasa bersalah. Itu masih lebih baik daripada kemarahannya dalam bersetubuh. Sekujur tubuh akan penuh lebam setelahnya, layaknya seseorang yang dianiaya bukan berhubungan dengan suaminya. Miris.

"Kenapa Ning tidak memberitahu saya? Selama tiga tahun? Ning menghadapi rumah tangga seperti ini dan kuliah?" tanya Gus Rayhan secara beruntun dengan tatapan sendunya.

Aku yang tadinya menunduk dan mencengkeram jubah karena menahan sakit saat menceritakannya sedikit melirik ke arahnya. Air mataku luruh pada akhirnya, napas pun terasa tercekat.

"Ini pilihan saya, jadi saya harus menanggungnya," jawabku singkat sembari menatapnya dengan mata berkaca-kaca seakan pasrah dan menerima semuanya.

"Hufhtt!" Terdengar helaan napas darinya, "Ning memang salah, tetapi bukan berarti Ning harus menerima kekerasan dalam rumah tangga dan menganggap itu hukuman. Tidak peduli dia bipolar atau menderita kejiwaan apa pun, Ning harus melaporkannya dan dia harus dihukum!" tegas Gus Rayhan yang membuatku menggeleng dan memegang pergelangan tangannya yang tertutup lengan gamisnya.

Di sela tangisan, aku berkata, "Saya juga menyakiti Gus, mungkin ini pembalasan atas rasa sakit Gus--".

"Ning! Tidak ada hal seperti itu bagi saya, benar saya menantikan Ning selama belasan tahun, dan lainnya. Tapi, bukan Ning yang salah dalam hal ini, mungkin ini ujian dari Allah untuk saya. Ning," panggilnya lembut sembari meraih pipi dan menghapus air mataku. "Sungguh, yang saya inginkan hanya kebahagiaan Ning. Jika Ning tidak bahagia, begitu pula saya. Jadi, saya akan membebaskan Ning dari semua ini," ungkapnya lembut.

Aku mengangguk.

"Selesaikan kuliah dengan baik dan jaga kandungan, Ning. Ning bisa menginap di asrama dan jelaskan pada Mas Agatha jika dalam masa-masa menyelesaikan skripsi Ning akan tinggal di asrama. Selebihnya serahkan pada saya," tuturnya.

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now