Part 24. Lamaran

7 0 0
                                    

"Bunda!" sorakku saat sudah sampai di rumah dan melihat bunda menunggu di depan rumah.

Tanpa menunggu Nazil, aku turun dan lari ke pelukan wanita paruh baya itu.

"Nora rindu, Bun," aduku sembari memeluknya erat. Ia tersenyum dan membelai punggungku.

"Putri kecil bunda," ucapnya yang mewakili sikap manja dan kekanak-kanakan dalam diriku.

"Tante, ini Alettanya ditidurkan di mana?" tanya Nazil yang sudah menggendong keponakanku itu. Sontak aku melepaskan pelukan dari bunda dan menoleh.

"Sini, biar aku aja, dia tidur di kamarku kok." Aku mengambil alih Aletta dari gendongan Nazil.

"Terus barang-barangnya?" tanyanya.

"Oh iya, Pak Tirto bantuin Nazil turunin koper Nora!" teriakku. Pak Tirto yang berada di pos satpam langsung berlari ke arah kami.

"Iya, Non," ucapnya.

Nazil pun langsung membuka bagasi mobil. Hanya dua koper yang sudah diturunkan.

"Pak Tirto bawa masuk ke kamar aja dua-duanya," pintaku.

Pak Tirto pun mengangguk, lalu mengambil alih koper dari tangan Nazil untuk dibawanya ke dalam.

"Terima kasih, Nazil. Ayo masuk, bunda masakkan makanan kesukaan kamu, pasta," ajak bunda antusias.

"Ish kok mi lagi, kan Nora phobia sama yang sejenis mi," protesku.

"Bunda masakin buat Nazil kok, kamu bisa makan bubur ayam juga," ungkap bunda.

"Anaknya bunda itu Nora apa Nazil, sih!" kesalku yang membuat Nazil tertawa.

"Udah Tante, enggak usah soalnya udah malam. Besok masih harus siapin lamaran juga," ucap Nazil.

"Oh iya, kamu enggak capek karena lamarannya terlalu mendadak, Nak?" tanya Bunda,  sedangkan aku mengerucutkan bibir.

Lamaran? Seketika aku membulatkan mata. "Ini beneran jadi lamaran besok?" tanyaku.

"Apa terlalu mendadak? Aku udah siapin selama satu bulan, lho. Undang keluarga, seserahan, dan lainnya."

Deg!

Aku teringat tentang ucapan Nazil sebulan lalu tentang lamaran. Cincin itu sudah melingkar di tangan. Namun, masih kuanggap candaan ketegasannya menjemputku dari pondok. Tak bisa menjawab, aku menoleh ke bunda.

"Ok, berarti Nazil maunya secara sederhana tidak ada acara resmi mengundang teman dan lainnya. Bunda akan siapkan, tinggal jam berapa Nazil dan keluarga akan datang?" tanya bunda menengahi.

"Baiknya jam sepuluh bunda, setelah acara Nazil ngantar Nora ke pondok buat mengakhiri prokernya," jawab Nazil dengan mantap.

"Aku setuju, bunda masuk saja istirahat. Nora mau bicara sama Nazil," ucapku yang dibalas senyuman oleh bunda.

"Aletta biar bunda bawa ke kamar aja," ucap bunda sembari menggendong Aletta.   Begitu bunda pergi, Nazil mendekat, senyum terukir di wajahnya saat berdiri di hadapanku.

"Nora suka ya sama Gus itu?" tanyanya. Ia yang bertanya, tetapi hatiku yang terasa diiris.

"Kok nanya gitu?" tanyaku sembari mengangkat alis, mencoba bersikap biasa aja.

Ia tersenyum miring, "Iya enggak papa, tapi kelihatan jelas kok kalau kalian ada perasaan. Mulai Nora yang nangis saat diabaikan karena ada perempuan berniqab itu, sampai sikap aneh Nora saat berhadapan sama mereka."

Aku menggeleng meski perkataannya sungguh benar.  Aku mengelak, "Enggak gitu, aku cuma ngerasa enggak dihargain aja sama mereka."

Nazil tersenyum, "Aku cukup tahu Nora bagaimana orangnya. Nora cemburu kan liat mereka?"

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now