Part 41. Stuck!

5 0 0
                                    

"Abah! Nora diterima di fakultas sains Ain Sham University!" seruku sembari berjalan cepat dan membawa koper di bandara. Tak peduli kesusahan membawa tiket, tas bahu dan koper. Aku masih berpikir untuk menyampaikan kabar gembira pada Abah yang menunggunya sedari lama.

[Alhamdulillah, bagaimana dengan keberangkatanmu ke Kairo, Nduk?]

"Ah iya, aku mau memberi kejutan ke Gus Rayhan di bandara Dubai ini, Abah! Kebetulan kami sama-sama di Dubai, tapi ia tak mengetahuinya. Jadi, aku berniat mengejutkannya!" seruku dengan napas terengah. Aku berjalan dari kursi tunggu keberangkatan hingga menuju gate penerbangan.

Tak lupa mengedar pandangan untuk mencari Gus Rayhan. Hingga pandanganku tertuju pada sosok dengan gamis putih dan rompi abu, itu profesor Yusman. Di sampingnya ada Gus Rayhan yang mengenakan baju Koko putih dan celana panjang warna hitam tak lupa pecinya. Ia terlihat asyik berbincang dengan perempuan di depannya.

Dengan ragu aku mendekat, sedangkan pandanganku tertuju pada perempuan dengan iris mata abu yang indah. Hidung mancung dan wajah blasteran Arab-Eropa. Terlebih ia dibalut hijab, semakin cantik dengan gamis putih dan hijab hitamnya. Tampak cocok bersanding dengan Gus Rayhan.

"Ah, Miss Sidna, I can help you to keep your father. Him as my father," ungkap Gus Rayhan yang terlihat bahagia.

"Yah Gus, I'm happy if you are my brother in law. Ah, would you like my daughter, Sidna?" tanya Profesor Yusman. Ketiganya terlihat bahagia saat berbincang dan tertawa. Sebuah harmoni dan kehangatan.

"Dad!" Sidna memperingatkan dan mencubit lengan ayahnya sembari tersipu malu, sedangkan Gus Rayhan tersenyum menanggapi ayah dan anak itu.

Langkahku terhenti melihat kehidupan sempurna Gus Rayhan. Urung niatku untuk memberi kejutan dan menemuinya di Kairo. Mungkin keputusan yang terbaik adalah dengan menjadi asing dan aku menjalani hidupku sendiri.

[Nduk]

[Nduk, sudah ketemu sama Rayhan?]

Suara Abah menyadarkanku dari lamunan, aku segera menarik napas dan menyeka pipi karena sedari tadi merasa tegang. Tak terasa air mata telah membasahinya. Menyadari itu aku langsung menunduk dan berusaha menghapusnya.

[Maaf Abah, Nora akan naik pesawat.]

Aku langsung mematikan ponsel, lalu memasukkannya ke dalam tas bahu. Tak ingin menjadi pusat perhatian karena memakai gamis warna pink pastel yang senada dengan hijab dan cadar, aku pun segera masuk ke dalam pesawat.

***

[Nora! Astaga adikku yang satu ini sulit sekali dihubungi. Bagaimana? Apa kamu sudah sampai di Kairo?]

Suara bariton Kak Arga terdengar keras dari seberang telepon. Bahkan telingaku terasa sakit dibuatnya.

"Enggak usah ngegas dong, Kak," keluhku sembari mengusap telinga beberapa kali. Sambil menyeret koper keluar bandara aku melihat sekitar, mencari taksi. "Baru keluar dari bandara juga, tadi teleponan sama Abah dan Bunda," ungkapku.

[Khawatir Nora, anak cewek sendirian di luar dan jauh dari rumah. Bagaimana kamu di sana?]

Suara Kak Arga berubah lembut.

Senyum tipis terulas di wajahku mendapat perhatian dari seorang kakak laki-laki.

Aku menghela napas, "Alhamdulillah Kak, aku sudah diterima di fakultas sains Ain Sam's University. Mungkin aku akan tinggal beberapa hari di hotel, lalu--"

[Dek, tinggal di hotel dengan baik aku yang bayar. Apa kamu butuh tempat tinggal sendiri? Aku akan mengirim sekretarisku untuk mengurusnya.]

"Astaga Kak tidak perlu, ah taksiku datang!" Aku melambai ke arah taksi, begitu berhenti di hadapan aku langsung masuk dan tetap menerima telepon dari Kak Arga. "Kak, aku bisa sendiri. Uangku juga masih cukup untuk mencari tempat tinggal sederhana di dekat kampus. Hari ini aku akan langsung berkeliling mencarinya, jadi besok bisa langsung ke kampus," tuturku yang tak ingin membuat Kak Arga khawatir apalagi sampai mengusik pekerjaannya.

[Terserah!]

Tut!

Telepon dimatikan. Aku hanya bisa berdecak menghadapi sikap pemarah Kak Arga. Aku pun memilih menyandarkan punggung ke kursi taksi setelah menarik koper masuk dan menutup pintunya. Selagi menghela napas dan memejamkan mata untuk meredakan stres saat taksi mulai berjalan, suara bariton seseorang mengejutkanku.

"Miss, I'm sorry I overheard your conversation earlier. I understand a little about Indonesian languange, but can't speak it. Is it true that miss Needs a place to stay?" tanya sopir taksi yang tak menoleh ke arahku, ia hanya sedikit melirikku dari kaca spion di depannya.

Sejenak aku dibuat berpikir, lalu berucap, "Yes, Sir, I'm from Indonesian. I need home in the corner of Ain Sham University. Can you help me?" tanyaku dengan sopan. Dilihat dari gelagat dan cara bicaranya sopir taksi itu baik.

"My mother lives alone near Ain Sham University. Miss can stay with her if you want. We are Muslims, so I immediately believed in Miss," ungkapnya.

Sebenarnya tidak ada salahnya aku percaya, tapi hatiku mengatakan hal lain. Aku ingin hidup sendiri benar-benar sendiri tanpa beban.

"Sorry Sir, but I have a problem that I can't explain. I don't want to reject your kindness, but I want to live a quiet and peaceful life by myself. I hope grandma finds someone else who can accompany her earlier. Can you take me to the hotel Al-Nasr City?" Senyum kutampilkan pada sopir taksi yang pada akhirnya mengangguk.

"I appreciate Miss, let me show you around and introduce this city. That way you will have no trouble living life here ...."

Sepanjang jalan ia menunjukkan tempat penting mulai dari toko pakaian, minimarket, kafe, restoran, mall, perpustakaan, bioskop, taman, bahkan tempat-tempat yang sering dijadikan pilihan untuk festival maupun pertunjukan musik kecil. Hingga menyarankan mencari rumah di sebuah daerah yang tenang dan strategis.

Aku mengangguk dan melihat ke luar jendela. Memandang perempatan dengan kompleks yang sepi dan luas, rumahnya minimalis, dan penuh dengan tanaman hijau.

"Yah, aku bisa memilih salah satu rumah di sini. Tidak jauh dari pusat kota dan Ain Sham University," gumamku sembari tersenyum. Kami pun melaju ke hotel Al-Nasr City. Sopir taksi itu pun mengangguk dan melakukan mobilnya. Aku pun menikmati pemandangan di sekeliling sampai di tempat tujuan.

"Yes Miss, the complex was often chosen by students from outside. You can go there and ask one of the residents, some students also live together to save money. One more thing, the people here really respect immigrant students. So, don't be surprised at our kindness later, Miss," tuturnya saat aku telah keluar dan menyapanya lewat jendela.

Hanya anggukan dan senyuman yang bisa kuberikan sebagai jawaban, "Thanks of your service, Sir." Aku pun segera mengakhiri pertemuan itu dan bergegas masuk ke hotel karena lelah. Waktuku tidak cukup untuk berkeliling dan mencari tempat tinggal hari ini karena besok sudah harus ke kampus. Apalagi aku butuh istirahat, mungkin besok setelah melakukan pendaftaran final dan mengurus registrasi aku bisa kembali ke kompleks tadi.

Sesampainya di kamar nomor 201 aku menarik napas panjang. Mengedar pandangan ke seluruh ruangan, lalu mengunci pintu. Di ruang kedap suara ini pandanganku menajam, hatiku mengeras dan seakan ditusuk ribuan duri.

Perasaan itu lagi, rasa benci pada diri sendiri. Lagi-lagi semua orang di dekatku akan pergi dan nasibku ditinggalkan sendiri.

Brukkk!

Aku ambruk ke lantai dengan air mata yang menggenang. Hanya satu nama yang kuinginkan ada sekarang.

"Nazilllll!" teriakku di ruang kedap suara itu. Tak akan ada yang mendengar jerit tangisku di sini. Di sini aku bisa menunjukkan kerapuhan hati, menumpahkan semua sesak dan rasa kehilangan di dada. Rindu ini, kecewa, luka ... aku tanggung sendiri sampai kapanpun. Berpindah tempat dan bertemu orang lain tidak membuat kesedihanku hilang nyatanya. Sebab, aku hanya menginginkannya ada di sampingku sejak ia memelukku, membuatku tertawa, menemaniku, hingga menyematkan cincin di jariku.

Napasku tercekat, tapi aku masih ingin berteriak dan menangis sekencang mungkin sampai ia di sana merasakannya.

"Kenapa kau meninggalkanku?" Aku berteriak dan menangis histeris di ruangan yang mulai gelap itu. Pandanganku pun mulai memudar hingga tubuh merasa lemas dan jatuh ke lantai. Dingin. Netraku pun terpejam. Hanya satu yang terlintas di pikiranku. Bagaimana jika ini saat terakhirku dan aku tidak bisa kembali membuka mata? Akankah aku bertemu denganmu?

Cinta Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now