59. Accident!

6 0 0
                                    

"Buruk!" teriakku dalam hati sembari menangis dalam diam sambil memegang erat besi koper, lalu menyeretnya ke dalam pesawat dengan kepala tertunduk. Di balik masker dan kacamata, tangis ini tak akan terlihat bukan?

Aku menghela napas dalam-dalam begitu berada di dalam pesawat, mengelus perut, lalu duduk di kursi sesuai tiketku. Penerbangan kembali ke Amsterdam akan menempuh waktu yang cukup lama. Untuk itu, aku memilih membungkus perut dengan blazer panjang berwarna mocca yang membalut knit putih dan rok panjang putih berhias bunga. Pandanganku jatuh ke luar jendela pesawat di mana terlihat langit dengan awan yang indah.

Sejenak aku tersenyum, "Nak, maaf ibu tidak bisa mempertemukanmu dengan ayahmu. Tapi, lihatlah langit begitu indah," ucapku sembari mengelus perut yang membesar di umur sembilan bulan ini. "I love you," ucapku sembari tersenyum dan meneteskan air mata, lalu memilih merebahkan diri untuk tertidur.

Begitu tenang memejamkan mata di bawah sinar matahari yang sayup-sayup mengenai mata. Bahkan aku membayangkan senyuman seseorang yang abadi di langit sana. Hingga aku terbangun karena merasakan lonjakan. Hingga kudengar kehebohan di sekitar dan suara peringatan yang tak terekam jelas di pendengaranku. Namun, mataku memerah memandang keluar jendela yang langitnya menghitam.

Jantungku berdebar kuat saat menyentuh kaca jendela pesawat yang bergetar, "Nak, maaf jika nanti ibu tak bisa menghadirkanmu ke duniaku." Mataku terpejam.

***

"Ning! Ning Nora! Ning, bangun, aku masih mencintaimu. Hiks, aku menunggumu."

"Ning, berapa lama lagi kamu ingin membuatku menunggu?"

"Ning, hari ini tanggal ulang tahunku, bangun, ya?"

"Ning Naura Ukhrawi Fatimah Az-Zahra, surat Ar-rahman ini untukmu ...."

"Ning, saya mencintaimu ...." Ucapan yang kudengar terus-menerus dalam alam bawah sadarku. Aku mendengarnya, tetapi ingin kuteruskan langkah di ruang gelap nan panjang itu sambil menuntun seorang anak. Ia terlahir sebagai anak yang lucu dan manis, manik matanya abu-abu.

Namun, ucapan lembut Gus Rayhan membuatku gelisah. Hingga kurasakan kecupan hangat di tangan dan tetesan air mata. Genggaman tangan mungil itu melonggar, ia tersenyum dan melangkah sendiri. Kemudian melambai padaku dengan senyuman manis di bibirnya. Hingga kudengar suara yang begitu jelas ....

"Ning, kembali, ya? Setidaknya untuk saya yang sangat mencintai, Ning."

Merasakan sentuhan di tangan, aku berbalik. Gus Rayhan tersenyum dan menggandeng tanganku. "Jangan tinggalin saya lagi, ya?"

Hatiku bergetar melihatnya yang begitu tulis, tatapan mata yang penuh cinta. Aku menangis dibuatnya, hingga perlahan aku membuka mata pada dunia. Bisa kurasakan air mata mengalir di pelupuk, tapi tubuh masih sulit digerakkan. Satu-satunya yang bisa hanyalah jemari kecil yang digenggam seseorang.

Aku melirik laki-laki yang terlelap sambil menggenggam tanganku itu, perlahan aku tersenyum. Ia Gus Rayhan di dalam mimpiku, tapi siapakah aku? Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Rumah sakit? Menghadapi kebingungan ini aku mencoba membangunkan laki-laki yang merupakan satu-satunya ingatan yang tersisa dengan gerakan jari.

Gus Rayhan menggeliat. Nama Gus Rayhan begitu dalam di ingatanku, seolah hanya dia yang ada di hati dan pikiran. Tak ada yang lain. Laki-laki itu mengucek mata, bibirku bergumam enggan berucap. Namun, seperti apa yang pertama kali kuingat, namanya kusebut, "Gus Rayhan."

Ia segera membuka mata dan bangkit, "Ning? Ning sudah bangun?" Sebahagia itu dia? Ia menggenggam tanganku, matanya berkaca-kaca.

Mendapati diri berasa di rumah sakit, ada banyak tanya terbesit di otakku. Hingga Gus Rayhan berteriak, "Umi! Abah! Bu Ranum! Ning Nora sudah bangun!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang