Dimana Kalung Itu

13 1 0
                                    

Senin pagi digedung MZA Corp, tampak Tira sudah berkutat diruangannya. Belum ada staf satu ruangan dengannya yang datang. Pasalnya Tira hari ini sengaja datang lebih pagi, namun meski begitu Raka selalu siap siaga mengantar Tira. Walaupun Tira telah melarang, Raka akan tetap pada kemauannya. Ya, itulah yang membuat Tira semakin hari menyukai Raka bahkan nama laki-laki berparas tampan itu sudah mulai melekat dihatinya.

Masa magang sebentar lagi usai, tak sampai satu bulan lagi. Hingga akhirnya dia ujian akhir semester, dan wisuda. Tira ingin menikmati masa magangnya disini.

Ketika hendak ke pantry membuat minuman hangat, tampak CEO dan asistennya datang dari arah lift, ya Max sekarang berada dilantai 28 dimana kantor firma hukum sekaligus ruangan Neo berada. Tira berpura-pura untuk tidak melihat dan melanjutkan langkahnya ke pantry. Namun, hal itu disadari oleh Max.

"Neo, kau duluan saja keruangan. Aku ingin mengurus sesuatu." Titah Max, matanya tertuju kearah pantry karyawan

"Hmm.. kali ini apa yang ingin kau lakukan?" Tanya Neo menggeleng-gelengkan kepala.

"Iiisss... kali ini kau tidak perlu tau Neo." Kata Max berdesis.

"Ok..walaupun akhirnya aku juga akan tahu". Neo mengedikkan bahu lalu melanjutkan langkahnya ke ruangan.

Sementara Max melangkahkan kakinya ke arah pantry. Diambang pintu ia melihat sosok gadis magang yang menggunakan setelan blazer lilac dipadukan dengan rok press body selutut warna senada. Rambut nya sebahu dijepit bagian pinggir nya dengan jepit rambut berwarna berwarna putih. Manis sekali, sesuai karakternya.

"Kau mau diberi nilai berapa oleh MZA Corp untuk tugas magangnya nona Tira?" Sapa Max, membuat Tira terperanjat kaget mendengar suara yang tidak asing berada dibelakangnya.

"Oh pak Max, selamat pagi." Sapa Tira langsung berdiri.

"Sebaiknya beri nilai sesuai dengan kemampuan saya saja pak." Lanjut Tira tersenyum sambil memegangi gelas yang berisi mocachino hangat dengan kedua tangannya.

"Bukankah kemarin sudah kubilang, panggil Max jika sedang berdua saja." Titah Max mendekati Tira lalu mengikis jarak diantara mereka. Hidung mereka hampir bersentuhan.

"Maaf pak, ini tidak dibenarkan." Kata Tira menegaskan.

"Saya hanya mahasiswi magang disini, tidak baik jika ada orang yang melihat posisi kita seperti ini." Tira mengingatkan Max dengan tatapan tajam.

Mendengar ucapan Tira yang takut akan dilihat orang, ia semakin mendekatkan bibirnya pada bibir Tira hingga akhirnya bersentuhan. Dan tidak hanya sampai disitu, Max juga melumat bibir Tira dengan lembut. Ia menikmati itu hingga beberapa detik dan Tira tidak hanya tinggal diam.
Tira dengan refleks melayangkan telapak tangannya hingga mendarat dipipi kanan Max.

"Berani sekali kau?" Kata Max dengan nada datar dan dinginnya.

"Saya sudah punya pacar pak, dan bapak tahu itu. Saya tidak mengerti dengan apa yang bapak lakukan. Saya benci bapak, saya benci." Kata Tira langsung melangkahkan kakinya kearah pintu pantry namun ditahan oleh Max.

"Dimana kalung itu? Kenapa kau tidak memakainya?" Kata Max alih-alih marah karena ditampar sekarang lebih marah lagi ketika tidak melihat kalung yang ia berikan pada Tira melalui ibunya.
Leher yang biasa dihiasi dengan kalung bertuliskan nama Tira, kini kosong.

Tanpa menunggu jawaban Tira, Max menarik tangan gadisnya itu ke dalam lift dan menuju lantai tiga puluh tempat dimana ruangan Max sendiri tentunya.

Sesampainya diruangan, Max membawa Tira kedalam kamar pribadi Max yang ada dibagian belakang. Max langsung membawa Tira ketempat tidur, dimana ia biasa beristirahat disana jika sedang lembur. Pintu kamar pun dikunci, berdegup jantung Tira ketakutan melihat kelakuan Max yang seperti orang lain, atau mungkin memang wajah asli dari seorang Max Zio Abraham.

"Apa yang akan bapak lakukan, tolong keluarkan saya dari sini pak.. saya mohon". Pinta Tira dengan airmata yang sudah tidak bisa ditahan atas perlakuan Max padanya. Sedangkan Max sudah dipenuhi dengan amarah yang dia sendiri juga tidak mengerti kenapa dia marah saat tidak melihat kalung pemberianny berada ditangan Tira.

Alih-alih menanggapi ucapan Tira, Max segera menaiki tubuh Tira. Mencumbunya, melumat bibir Tira tanpa ampun. Sesekali menggigit bibir Tira untuk membuka akses agar lidahnya bisa mengabsen setiap inci didalamnya. Setelah itu Max mulai turun keleher, lidahnya bergerilya.

"Jangan pak, saya mo-hon." Kata Tira terbata, ia tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia merasakan gejolak yang berbeda. Begitu lihainya Max memberikan sentuhan pada Tira. Namun, ia seketika mengingat Raka, sang kekasih yang selalu memperlakukannya dengan lembut. Tira menangi sambil sejadi-jadinya.

Max tidak memperdulikan tangisan itu, tangannya sudah sangat liar berada diarea kedua gundukan milik Tira. Baru saja Max hendak menaikan rok Tira keatas, tangan Tira sudah menahan dan menggenggam tangan Max.

Max yang melihat Tira menggelengkan kepala dan air mata yang sudah membasahi sebagian sarung bantal, membuat Max mengurungkan niatnya.
Ia mengusap kasar wajahnya, dan menarik nafas panjang.

Max juga tak habis pikir kenapa ia bisa melakukan itu pada Tira. Hampir saja ia melampaui batasnya.
Kemudian Max merebahkan diri disebelah Tira, ia memeluk gadisnya lalu menghapus airmata yang ada sejak tadi mengalir.

"Maafkan aku Tira, aku tidak bermaksud menyakitimu." Sesal Max pada Tira.

"Apa salah saya pak?". Tanya Tira dengan suara yang serak karena banyak mengeluarkan airmata.

"Max, sekali lagi aku katakan panggil aku Max." Kata Max menekankan.

"Kenapa, kenapa harus saya?" Alih-alih menjawab Tira malah bertanya balik.

"Aku menyukaimu,mencintaimu, tak ingin jauh darimu." Jelas Max.

Tira langsung menoleh pada Max, dan ia mengangkat jari manis yang ada disebelah kirinya. Memperlihatkan sebuah cincin yang diberikan oleh Raka.

"Aku tidak perduli, lagi pula kalian belum menikah. Jadi aku masih ada kesempatan untuk mendapatkanmu." Cerocos Max.

Tira hendak bangkit dari tempat tidur, namun ditahan oleh Max.

"Kau mau kemana?" Tanya Max.

"Ini sudah waktunya jam kerja, apa kata staf yang lain jika saya tidak ada diruangan." Kata Tira.

"Rapikan dulu dirimu, dan wajahmu. Apa kau ingin mengatakan pada yang lain bahwa kau sangat senang berada didalam kamar pribadiku?" Kata Max sambil bersedakap tangan didada.

Tira langsung beranjak memasuki ruangan yang terlihat seperti toilet disana. Ia segera membasuh wajahnya. Ia berusaha untuk menahan air mata yang masih ingin keluar dari kantongnya.

Setelah keluar dari toilet, ia kaget karena Max sudah duduk dipinggiran tempat tidur. Ia berusaha melewati Max namun segera ditarik lengannya hingga terduduk dipangkuan Max.
Max meletakkan kedua tangan Tira dilehernya, lalu menempelkan dahinya pada dahi Tira. Ketika hendak menolak, Max segera menahan kepala bagian belakang Tira agar tetap pada posisinya.

Kini nafas mereka beradu, Max menatap lekat mata Tira yang masih agak sembab habis mengeluarkan air mata. Begitupun Tira yang menatap Max penuh arti.

"Dengarkan aku, biarkan seperti ini. Aku tidak akan menyakitimu. Aku mencintaimu.", ungkap Max.

"Apakah aku sudah boleh pergi?" TanyaTira tak merespon ucapan Max.

Mendengar ucapan Tira, Max pun pelan-pelan melonggarkan pegangannya. Dan Tira tidak ingin melewati kesempatan itu untuk segera meninggalkan kamar pribadi CEO MZA Corp yang usianya kini sudah mendekati kepala tiga.

*Aiiissshh maafkeun kalo ada.typo-typo gitu yah bestie*

*Btw, pas aku publish ini kalian lagi dimana sih?* 🤭🤭

Ku Kira Kita Ternyata KalianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang