ExecutiVe Club

30 1 0
                                    

"Apa kau ingin ku pesan kan sesuatu lagi?" Tanya Max.

"Max , semua ini sudah cukup untukku. Terimakasih."

Max mengambil sapu tangan dan menyapu sisa-sisa es krim di area bibir Tira. Seketika Tira terdiam menatap Max, mereka saling pandang dengan pemikiran mereka masing-masing.

"Ehemm..hemm..hemm." Max berusaha mengatur nafas. Ruangan full AC itu kini mendadak berubah menjadi panas.

"Sepertinya aku harus ke toilet dulu." Tira harus keluar dari ruangan itu, ia membutuhkan udara segar. Max hanya menganggukkan kepala karena ia juga merasakan hal yang sama dengan Tira.

Tira membasuh mukanya diwastafel, air dingin yang keluar dari keran sungguh membuat Tira  merasa segar kembali. Tiba-tiba ia teringat dengan Raka, seharian mereka tak saling mengabari. Tira sendiri pun lupa, sejak berada dikampus tadi ingin sekali Tira menghubungi Raka dan ingin mampir ke kantornya.

Tapi karena Tira terlalu lelah, akhirnya ia memutuskan untuk pulang diantar oleh Revan.

Tira merogoh isi tasnya, ia mencari benda gepeng miliknya. Lalu ia mendial nomor Raka disana, namun tak ada jawaban. Tira menjadi khawatir, berpikir Raka akan marah karena tak menghubunginya sama sekali. Tapi, Tira juga merasa heran tumben sekali Raka tidak menghubunginya sama sekali.

Lagi, Tira mencoba lagi menghubungi Raka tetap nihil. Tak ada jawaban sama sekali. Mungkin Raka hanya sedang sibuk saja. Tira sangat percaya bahwa Raka tidak mungkin mengabaikannya. Dan besok Tira berencana untuk menceritakan semua tentang Max padanya.

Karena Tira tidak ingin Max berbuat seenaknya dan terus mengganggu dirinya.
Baru saja Tira ingin kembali mendial nomor Raka. Ada panggilan masuk dari Revan.

"Tira, gue ganggu lu gak?"

"Emm gak juga sih, kenapa Van?"

"Gue mau kasih liat lu sesuatu, liat pesan gue ya"

"Apaan sih, tumben banget."

"Uda liat aja sih."

Segera Tira membuka aplikasi pesan. Ia melihat chat masuk dari Revan. Betapa terkejutnya Tira saat melihat sosok yang sejak tadi membuatnya resah sedang berada disebuah club malam. Dan lebih mengejutkan lagi disebelahnya ada wanita yang sangat ia kenal.
Badan Tira terasa lemas semuanya, air mata menetes tanpa permisi.

"Tira, lu masih disana kan?" Panggilan masih berlangsung.

"Tira.. Tira.."

"Share loc ya Van."

Setelah menerima alamat yang dikirim Revan, Tira bergegas meninggalkan toilet. Ia harus memastikan sendiri dengan mata kepalanya. Ia tak ingin menduga-duga.

Saat keluar toilet ia terkejut hingga hampir terjatuh, untung Max segera menopang badannya yang sudah terasa lemas.

"Kau lama sekali ditoilet, ada apa?" Max melihat wajah Tira yang pucat dan ada sisa air mata di kedua sudut matanya.

"Max, a-aku ha-harus pergi."

"Ada apa katakan? Kata Max penuh penekanan.

"Le-lepaskan, a-aku harus pergi Max." Tira meronta namun Max semakin menahan Tira dengan kuat.

"Kemana? Aku antar."

"Ti-tidak perlu,aku bi-bisa sendiri."

"Jangan keras kepala,aku antar." Max geram dengan Tira.

"ExecutiVe Club."

Max tidak mengerti kenapa Tira menyebutkan alamat itu. Namun, ia tak ingin banyak bertanya dulu melihat kondisi Tira seperti ini. Ia segera membawa Tira menuju tempat dimana mobilnya diparkir.

"Harus kah kita pulang saja?" Tanya Max.
Tira hanya menggelengkan kepalanya

" Sepertinya kau membutuhkan dokter." Tambah Max, namun lagi-lagi hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Tira.

Disepanjang perjalanan, Max merasakan tangan Tira berkeringat dingin. Ingin sekali ia memutar arah mobilnya ke rumah sakit atau pulang kerumahnya.

Max benci melihat keadaan Tira seperti ini, ingin sekali ia memaki orang yang telah membuat gadisnya menjadi pucst seperti ini. Tapi Max juga belum mengetahui kebenarannya.

Tidak memakan waktu lama untuk menuju ketempat yang Tira maksud. Kini SuV hitam milik Max sudah berada di basement exsecutif club. Tira segera turun dari mobil tanpa sempat dibukakan oleh Max.

Ia berjalan dengan cepat namun gontai, Max yang melihat itu merasa kesal. Ia segera menyusul Tira, dan menahannya.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku harap kau jangan seperti ini."

Tira tidak bersuara, ia melanjutkan langkahnya masuk kedalam. Max menggelengkan kepala. Hingga didalam ia bertemu dengan Revan.

"Van..gi..gimana?"

"Beib, maafin gue. Tadi gue nyoba buat bicara dan menghentikan mereka cumaan.." Revan menggelengkan kepalanya.

Max menatap tajam pada Revan saat pendengarannya memanggil gadisnya dengan sebutan "Beib".

"Sekarang mereka ada dimana?"

"Ada di VIP Room lantai tiga".

Tira melangkahkan kakinya hendak berjalan ke lantai tiga, namun lengannya ditahan oleh Max yang menggelengkan kepala mengisyaratkan agar Tira tidak harus melihatnya.

Tira tidak memperdulikan Max, ia tetap melangkahkan kakinya dengan dada yang berdegup lebih kencang.

"Max, kenapa kau bisa bersama Tira?"

"Bukan urusanmu, sebaiknya kau pulang saja."

"Max, yang berkaitan dengan Tira itu urusan gue juga."

"Revan, sebaiknya kau pulang. Tira biar aku yang tangani."

Mau tak mau Revan mengikuti apa kata Max, lagi pula ia percaya Tira akan aman jika sudah ada Max.

Max terus mengikuti kemana arah Tira berjalan. Tangga demi tangga dinaiki, padahal disana ada lift.

Sampai dilantai tiga, tepat dipaling pojok sebelah kiri. ViP Room, kini Tira berdiri didepan pintu ruangan itu.

Tangan Tira terlihat sekali gemetaran, perlahan ia membuka pintu bertuliskan VIP Room itu.

Krek!!

Suara pintu terbuka, namun tidak membuat kedua manusia didalamnya yang sedang saling bersentuhan kulit suara kecapan dan desah terdengar jelas diruangan kedap suara itu sadar bahwa ada sepasang mata yang sedang menatap nanar pada mereka.
Air mata mengalir begitu deras, sehingga membuat Tira tak mampu untuk berkata.

Tira memberikan isyarat pada Max untuk tetap menunggu diluar. Ia melanjutkan langkahnya masuk. Didalam ruangan yang hening itu hanya terdengar lenguhan  dan kenikmatan keduanya.

Marah, kecewa, sedih jangan ditanya. Ia hanya membisu menjadi penonton seorang diri dalam kegelapan. Tira memilih duduk disofa panjang berjarak dua meter dari ranjang yang bergoyang. Ingin pergi, tidak Tira tak ingin pergi dari sana. Ia ingin melihat adegan itu sampai selesai, sehingga ia tak mampu lagi untuk merasakan cinta.

Setelah hampir dua jam adegan itu akhirnya selesai. Dua insan yang telah selesai mencapai puncaknya kini sama-sama teparnya. Tira berusaha untuk menahan agar tidak sesenggukan. Orang yang menurutnya begitu sangat mencintainya, ternyata bisa berkali-kali menyakitinya.

Akhirnya Tira memutuskan untuk pergi meninggalkan ruangan terkutuk itu. Ia keluar dari VIP Room, disana masih terdapat Max yang berdiri bersandar didinding menghadap ruangan itu. Max mengehela nafas melihat Tira yang muncul dari balik pintu.

Keadaan Tira terlihat sangat kacau, Max mendekati Tira namun Tira menggelengkan kepala. Max mengedikkan bahu, ia tetap memantau dan mengikuti dari belakang , ia khawatir dengan kondisi Tira.

Tira menuruni anak tangga satu persatu dengan gontai. Badannya sempoyongan, hati dan pikirannya melalang buana entah kemana. Setiap kali Tira akan terjatuh Max menahannya dari belakang. Namun, segera ditepis oleh Tira.

Setelah sampai dilantai satu, masih dengan langkah gontainya Tira menuju meja bar. Ia duduk dengan tatapan kosong. Kemudian ia meminta wine pada sang bartender.

Ku Kira Kita Ternyata KalianWhere stories live. Discover now