Gaun Pengantin

26 0 0
                                    

Panik, ya itu yang sekarang semua orang rasakan di ruang tunggu depan pintu IGD. Max, sejak tadi tidak berhenti berjalan kesana kemari dengan kedua tangan yang satu di saku celana yang satu lagi sedang menggosok-gosok rahangnya yang tidak gatal.

Max, mengingat bagaimana ia melarang Raka untuk bertemu dengan Tira. Namun, Raka tidak bisa diberitahu, ia tetap ingin bertemu dengan Tira. Akhirnya terjadilah adu jotos. Ayah Ronald yang berada disana juga sempat meminta Raka untuk pulang, tapi Raka tak mengindahkan.

Sampai akhirnya Tira turun dan memanggil namanya saat sebelum jatuh dan pingsan. Max senang, ternyata ia sudah memiliki hati Tira. Dengan Tira menyebut namanya bukan nama Raka itu sudah membuktikan bahwa yang ada dalam pikiran Tira saat itu adalah dirinya.

Tapi sekarang, calon istrinya tengah terbaring disebuah brankard didalam IGD. Batinnya berdoa agar calon istri dan anaknya baik-baik saja.

Seorang pria berjas putih keluar dari balik pintu IGD ditemani oleh seorang wanita berpakaian putih dengan caping dikepalanya. Mereka mendekati Max.

"Dokter, bagaimana istri saya? Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana dengan janinnya dok?". Max langsung menyerbu sang doktet dengan rentetan pertanyaan.

"Tuan tenang saja, istri anda dan juga janinnya aman dan baik-baik saja. Untungnya keluarga segera membawanya kemari." Dokter muda itu tersenyum melihat Max yang menghembuskan nafas lega.

"Apakah saya boleh melihat istri saya sekarang juga dok?"

"Boleh tuan, bergantian saja dengan anggota keluarga yang lain. Agar pasien tetap nyaman." Max pun mengangguk kemudian dokter meninggalkan tempat itu bersama dengan perawatnya.

Semuanya setuju jika Max masuk terlebih dahulu. Mereka akan masuk setelah Max selesai.

Disudut ruangan Raka mendengar semua apa yang dikatakan oleh dokter itu, ada perasaan lega ketika mendengar wanita yang dicintainya baik-baik saja.

Walaupun hati kecilnya penuh dengan rasa bersalah, ia sangat sedih. Ingin sekali ia memeluk gadis yang dicintainya itu, cinta pertamanya. Ia pun pergi meninggalkan rumah sakit.

Max berjalan cepat menuju brankard tempat Tira terbaring. Ia segera meraih satu tangan Tira dan menggenggamnya erat. Tira yang beberapa menit lalu talah sadar sebelum dokter meninggalkan ruangannya, kini tersenyum melihat Max dengan wajah paniknya.

"Bagaimana perasaanmu saat ini sayang?" Max mengusap-usap dahi Tira dengan lembut.

"Aku baik-baik saja, kau tidak perlu berlebihan."

"Kau tahu, aku sangat shock melihatmu jatuh seperti tadi sayang. Kau bisa membuatku mati berdiri Tira."

"Tapi nyatanya kau sehat-sehat saja." Goda Tira.

"Jadi kau ingin aku mati sungguhan? Jika itu membuatmu bahagia, aku rela melakukannya."

"Aaaww.. sakit sayang." Max meringis kesakitan, Tira mencubit lengannya dengan sangat dalam.

"Jangan pernah bicara seperti itu, aku tidak suka." Kata Tira cemberut.

"Apa kau sekarang mengkhawatirkanku?" Max mengerlingkan matanya.

"Apa kau ingin aku mencari daddy baru untuk bayi ini?" Balas Tira sambik mengusap perutnya yang masih rata.

"Iiiiissshhh... Awas saja jika kau berani melakukannya." Max memeluk dan mengecup dahi Tira dengan lembut.

"Tadi kenapa kau bisa bertengkar dengan Raka?" Tanya Tira.

"Haaah.. laki-laki itu, ia belum mau menyerah. Tadi ia datang ingin menemuimu, katanya ada yang ingin dia bicarakan. Tapi aku melarangnya, aku tak ingin ia mengganggu calon istriku yang cantik ini." Cerocos Max, membuat Tira geli.

"Mungkin memang ada yang ingin dibicarakannya."

"Aku tidak akan membiarkannya."

"Hahaha, selain membuatku mual ternyata kau posesif sekali Max."

"Ck..kau itu. Benar-benar menggemaskan." Kata Max mencubit kedua pipi Tira.

"Max, yang lain kemana?"

"Ada diluar, mau aku panggilkan?" Dijawab anggukkan oleh Tira, Max keluar kamar memanggil anggota keluarga Tira.

Bunda Elena, Ayah Ronald dan Lexi pun muncul. Mereka segera menghampiri Tira dengan senyum bahagia.

Max sendiri keluar, menuju kantin. Ia membelikan beberapa makanan dan cemilan untuk calon istrinya yang sejak tadi siang dibutik belum ada keinginan untuk makan.

"Syukurlah nduk, bunda dari tadi kepikiran poll." Kata bunda.

"Iya kak, tau gitu gak kasih tau kakak soal kejadian dibawah, maafin aku ya?" Lexi merasa bersalah, menurutnya ia penyebab terjadi kecelakaan yang Tira alami. Sehingga membuat sang kakaknya harus terbaring ditempat ini.

"Apa sih, gpp kok. Lagian kakak dan calon debay sehat-sehat aja."

"Putri ayah memang kuat dan hebat. Semangat ya nak." Ayah Ronald mengelus  kepala sang putri.

Tak lama kemudian Max datang dengan membawa makanan ditangan kanannya. Setelah meletakkan semua makanan yang ia beli tadi diatas nakas. Ia membuka krim sup yang masih panas.

Dengan telaten ia meniup krim sup panas kemudian ia menyuapi Tira. Semuanya sangat senang melihat Max begitu menyayangi Tira.

****

Gaun putih dengan lengan panjang, make up pengantin yang membuat Tirani Beladya Tama terlihat sangat cantik. Kini waktunya memasuki ballroom hotel di iringi oleh kedua orangtuanya juga Lexi sang adik.

Dari atas pelaminan, Max tidak berkedip melihat wanita yang sebentar lagi menjadi istrinya. Ia benar-benar terpesona melihat betapa anggunnya sang wanitanya dengan gaun putih yang membungkus tubuh mungil itu.

Ketika sudah diatas pelaminan pun Max tak berhenti memandang Tira. Membuat sang wanita tersipu malu.

Undangan digelar dengan sederhana tapi tetap ada kesan mewah disana. Tira memang tidak ingin pesta besar, mengingat ia juga masih kuliah.

Akhirnya pengucapan ijab kabul telah terlaksana, Max dan Tira sahnmenjadi pasangan suami istri dihadapan penghulu dan semua undangan.

Undangan hanya para kolega dan keluarga terdekat saja. Termasuk Richard Glew juga hadir.

"Selamat ya untuk kalian, meskipun aku harus patah hati melihatnya." Ucap Richard Glew dengan tawa kecil.

"Hei, apa maksudmu bung?" Max memberikan tatapan tajam, kemudian diikuti gelak tawa Richard Glew yang senang melihat Max yang sangat posesif.

"Sepertinya kau sangat bucin ya Max." Kata Richard Glew yang kemudian beralih bersalaman dengan Tira.

Ia menatap Tira lekat, wanita yang tengah hamil muda ini sungguh cantik dan memiliki pesona tersendiri. Sangatlah wajar, siapapun laki-laki yang melihatnya akan jatuh hati.

"Jaga matamu tuan Richard Glew." Kata Max tak terima, namun tak digubris oleh Richard Glew.

"Kau sangat cantik, dan semakin cantik dengan gaun ini. Semoga kalian bahagia ya. Jika Max menyakitimu, kau bisa datang padaku kapanpun kau mau." Richard Glew mengerlingkan matanya pada Tira, lalu menatap Max sambil mengedikkan bahu.

"Kak Richard, segeralah menikah. Semoga kakak mendapatkan wanita idaman kakak." Ucap Tira kepada kakak barunya itu.

"Hei, jika aku ingin menikah dengan wanita idamanku, lalu bagaimana dengan Max. Akan terjadi kekacauan disini. Hahaha." Richard tertawa, ia semakin membuat Max melotot padanya.

"Maksudnya apa kak?" Tanya Tira bingung.

Max yang geram dengan ucapan Richard Glew , segera menarik lengan sang istri  kedalam dekapannya. Ia tak ingin wanita yang baru saja sah menjadi istrinya diambil oleh laki-laki balsteran yang ada dihadapannya kini.

Richard Glew benar-benar senang melihat ekspresi Max saat ini. Lalu ia bergabung ke dalam kerumunan tamu undangan.

* Duhhh... Gimana bestie.. jempolnya mana?* 😘😘😘😘😘

"Aahh Typooo..* 🤭🤭

Ku Kira Kita Ternyata KalianWhere stories live. Discover now