Kamu Kenapa Sih

12 1 0
                                    

" Max, kau baik-baik saja?" Tak ada jawaban dari Max, ia hanya memasang wajah datar dan menyeramkan.

"Max.."

"Aku baik-baik saja".

Tira merasa ada yang aneh dengan Max, sulit ditebak. Kadang mengganggu, kadang memaksa,kadang juga menyeramkan. Tira bergidik ngeri dengan pikirannya sendiri.

Sesampainya dikantor, Max segera masuk sendiri tanpa bicara apapun. Tira yang melihat kelakuan Max hanya mengedikkan bahunya saja. Kemudian ia berlalu keruangannya sendiri.

Didalam ruangannya Max melemparkan gelas yang ada diatas meja kerja kedinding ruangan hingga terdengar suara melengking dari gelas kaca  yang menghantam dinding kemudian jatuh berserakan dilantai.

Ia mengepalkan tangannya lalu menghantam dinding yang berlapis kaca hingga keluar darah dari punggung jarinya. Darah mengalir dan menetes ke lantai.

Ia begitu yakin bahwa hatinya sudah disi oleh Tira sepenuhnya, namun sangat ia sesalkan bahwa Tira adalah kekasih orang lain.

Terdengar suara pintu diketuk dari luar, namun Max tak kunjung menjawab.
Tak sampai satu menit, muncul Tira dari balik pintu.

Betapa terkejutnya ketika melihat kondisi Max yang berantakan. Mata Tira tertuju pada lantai yang berdarah, lalu beralih ke tangan Max yang terluka.

"Max..." Tira berteriak dan segera mendekati Max. Ia meletakkan map yang ia bawa. Tadi saat ia kembali keruangan, ia bertemu dengan Neo yang tergesa-gesa menemui klien. Sehingga ia dipercaya untuk memberikan berkas penting pada Max.

"Apa yang sedang terjadi Max? Kau terluka." Tira menari tangan kanan Max yang terluka namun ditepis oleh Max.

"Jika tidak ada yang ingin kau katakan, sebaiknya kau keluar."

"Max, apa yang kau katakan? Kau sedang terluka.. darahnya terus mengalir."

"Aku tidak perlu dikasihani, sebaiknya kau pergi."

Alih-alih pergi, Tira sibuk mencari letak kotak P3K, ia mencari disetiap sudut ruangan.

"Max, dimana kotak P3K nya?"

"Heran gue, ruangan besar dan sebagus ini gk nyimpen kotak P3K, iiiss menyedihkan." Bisik Tira pada dirinya sendiri, namun masih terdengar oleh Max.

"Apa kau tidak punya mata? Bukankah diatas meja itu ada kotak P3K?" Max menunjukkan letak kotak itu dengan mode emosi.

"Aaahahah.. maaf.. maaf..kamu sih bikin panik saja " Tira tertawa garing, namun entah kenapa itu membuat emosi Max mereda seketika karena bisa membuat Tira tertawa seperti itu.

Tira membawa Max ke sofa dengan menarik lengan kiri Max yang tidak terluka.

"Kamu kenapa sih, kok tiba-tiba jadi begini? Kamu kalau marah, marahlah dengan cara yang bener." Tira akhirnya mengomel dengan bahasa sehari-harinya. Ia hanya menggunakan bahasa baku jika dikantor atau dengan Raka saja.

"Ini pasti sakit banget..huuu..huuu.." Tira mengoleskan obat merah, kemudian ia tiup-tiup pangkal-pangkal jari yang terluka.

Hati Max berubah menjadi lunak kembali, ia merasa bahagia dan damai atas perlakuan Tira. Ia tidak bisa membenci Tira, justru perasaannya pada Tira semakin dalam.

Setelah Tira membalut lukanya, tiba-tiba Max menarik tangan Tira kemudian diletakkan didada Max bagian kiri.

Tira merasakan degup jantung Max berdetak sangat cepat. Tatapan mereka bertemu dengan pikirannya masing-masing.

"Max, ki-kita berteman kan?" Tanya Tira gugup.

"Kita tidak bisa berteman, tidak." Tegas Max dengan lembut. Kini ia membawa jemari Tira ke bibir Max.

Tira berusaha menarik tangannya namun Max menahannya. Kali ini Max menangkup wajah Tira dengan kedua tangannya, mengikis jarak hingga hidung mereka bersentuhan.

Tira membuang muka, ia tak bisa diposisi seperti ini, ia hanya akan menyakiti Raka.

"Max, maaf aku tidak bisa."

"Kenapa? Apa karena Raka? Revan? Rio? Hmmm...?" Max mengenduskan nafasnya disetiap inci wajah Tira. Ia sangat kesal karena terlalu banyak yang menyukai Tira termasuk adik sepupunya.

"Max, a-apa maksudmu? A-aku tidak mengerti"

Max berdiri, ia diam sejenak melihat Tira yang menunduk ketakutan. Kemudian Max membopong Tira dibahu layaknya karung beras. Tira kaget, kemudian meronta minta diturunkan oleh Max.

Tak dihiraukan oleh Max, ia terus membawa Tira keruangan pribadinya. Setelah pintu ruangan terbuka, Max meletakkan Tira ditempat tidur king sizenya.

Max segera menindih Tira, ia memandangi wajahnya dengan dalam, ia menyelami bola mata hitam pekat yang penuh ketakutan itu.

Max mengendus rambut Tira, aroma strawberrynya membuat Max candu, lalu turun ke telinga, ia gigit telinganya hingga sedikit memerah.

Max menyatukan bibirnya dengan bibir Tira yang selalu membuatnya frustasi. Max melumat dengan dalam bibir lembut milik Tira, ia sesap hingga mengeluarkan suara kecapan yang menggema diruangan itu namun tak kunjung dibalas oleh Tira. Max, menggigit bibir Tira sehingga gadis itu mau tidak mau membuka mulutnya dan memberi akses agar lidah Max bergerilya disana.

Tira mulai sedikit melenguh, ia mengeluarkan suara. menatap mata Tira, ia senang mendengar suaranya.

Kini tangan Max sudah berjalan menapaki gundukan yang kenyal, Max menuruni bagian leher Tira.

Tira merasakan gelenyar aneh yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, ia merasakan sensasi yang menyenangkan namun ia berusaha untuk sadar bahwa ia salah. Ia tidak bisa seperti ini.

"Max, bi-sa kah kau ber-henti". Nafas Tira mulai tersengal, Max tetap menjilati leher Tira tanpa ampun.

Max membuka satu persatu kancing baju Tira, terlihat dua gundukan disana. Dengan lembut Max menjilati sekitar areola yang masih berwarna pink itu kemudian menggigit putingnya membuat Tira semakin mendesah.

"Aaaahh.  Max, ti-tidak.. Max.. hen-tikan..cu-kup". Tira tetap berusaha untuk meronta, ia memukul dan mencengkram bahu Max sekuat yang ia bisa.

Max yang merasakan cengkraman Tira dibahunya semakin kuat, Max perlahan menjauhkan diri dari Tira.

Ia tatap wajah Tira yang telah penuh air mata, ia tak tega melihat gadisnya mengeluarkan banyak air mata.

Max pun mengakhiri tindakannya, ia takut melampaui batas dan akan berakhir dengan menyakiti gadisnya. Ia tutup kembali pakaian Tira seperti semula. Ia kecup satu persatu bagian wajah Tira, dari kepala, dahi,mata kiri dan kanan,hidung,dagu dan terakhir bibir ia kecup sedikit lebih lama.

Ia melihat Tira nangis sesenggukkan, ia benar-benar merasa bersalah karena terbawa emosi sesaat.

Max memeluk Tira, membiarkan ia menangis dalam pelukkannya.

"Maafkan aku, maafkan aku." Kata Max tulus dari hatinya.

Permintaan maaf Max malah semakin membuat tangis Tira pecah. Max mempererat pelukkannya dan mengecup pucuk kepalanya berulang-ulang untuk memberikan kenyamanan pada Tira,  agar Tira tahu bahwa ada Max selalu untuknya.

Setelah satu jam kemudian, Max tak lagi mendengar suara tangisan. Ia hanya mendengar  suara nafas yang kini berhembus teratur.

Tira tertidur, kepalanya menyandar didada bidang milik Max. Max membelai rambut Tira, menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya.

Begitu damai dan tenang wajah Tira saat tertidur seperti ini. Ingin sekali ia menghentikan waktu, agar ia bisa terus seperti ini bersama Tira.

Ya, bersama gadis yang hanya dalam waktu beberapa menit saja telah membuatnya seperti terbang.

"Kau hanya milikku, ya milikku." Kata Max pada raga yang tengah terlelap dipelukkannya.

*Aku yang lagi nungguin kamu*

Ku Kira Kita Ternyata KalianWhere stories live. Discover now