Milik Orang Lain

30 0 0
                                    

" Aku akan tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ku lakukan padamu, Arleta."

"Tapi, aku tak bisa memberi hatiku untukmu." Tegas Raka.

Bak disambar petir mendengar hal itu, terasa remuk hati Silvi. Semua ini terjadi juga karena kebodohannya sendiri. Akhirnya ia harus menanggung kesedihan yang tak mungkin ia ungkapkan kepada kedua orangtuanya.

Ya, hari ini adalah hari pernikahannya. Ia baru saja melakukan ijab kabul bersama Raka. Ia sudah sah dimata hukum dan agama.

Raka sama sekali tidak tersenyum, bahkan bersikap lembut saja tidak. Sikapnya dingin tak tersentuh. Silvi kebingungan, entah langkah apa yang harus ia ambil saat ini, esok dan seterusnya menghadapi sosok Raka yang  saat ini sudah menjadi suaminya

Raka yang baru saja selesai mandi, dengan handuk dililitkan dipinggang, melangkah menuju walk in closet. Ia melirik Silvi dari ekor matanya yang masih bergeming diatas tempat tidur.

Ia juga masih belum tahu harus bersikap seperti apa pada Silvi, sebab ia sendiri tidak memiliki perasaan apapun. Setelah mengenakan pakaian lengkap, ia segera keluar kamar dan turun menemui keluarganya yang sudah berada diruang makan.

Melihat Raka keluar dari kamar, Silvi segera bergegas ke kamar mandi. Ia membersihkan diri dibawa shower, air mengucur dari atas kepala mengalir kesekujur tubuh bersama ingatannya pada malam itu hingga membuatnya hamil dan menikah dengan Raka.

Walaupun ia mencintai Revan, tapi ia juga tidak menolak jika memang harus menikah dengan Raka. Tapi mungkin tidak dengan cara seperti ini. Bagaimana ia harus menghadapi Revan, sedangkan dalam hatinya masih ada cinta untuknya.

Setelah menyelesaikan mandinya, Silvi pun segera mengenakan outfitnya, ia tetap harus kekampus menyelesaikan mata kuliahnya yang masih beberapa bulan lagi. Ia turun menyusul Raka yang sudah ada diruang makan bersama keluarga.

Kursi kosong hanya ada disebelah Raka, ia mengambil alih kursi itu, bahkan untuk menoleh pun Raka nampak enggan.

"Wah, anak mommy cantik sekali pagi ini. Bagaimana, apa tidurnya nyenyak semalam?" Greta melirik Raka, namun sang putra tidak menggubris sama sekali.

"Nyenyak mom." Bukan Raka, tapi Silvi yang menjawab.

"Kak Arleta, apa hari ini kau sibuk?" Tanya Weni.

" Ah tidak, ada apa Wen?"
"Nanti sepulang Weni sekolah temani Weni belanja yuk?"

"Baiklah, bagaimana kalau kakak jemput? Hari ini kakak cuma ada 2 mata kuliah saja."

"Wah itu ide bagus kak."

Mereka menyelesaikan sarapannya dengan santai. Mommy Greta dan daddy Jhon sangat memahami bahwa Raka tidak mencintai Silvi. Namun, hal itu tidak merubah sikapnya pada putri sahabatnya meskipun ada rasa kecewa atas apa yang telah dilakukan oleh Silvi.

Mereka terus membujuk Raka untuk menikah dengan Silvi, dan tanpa sepengetahuan Silvi ada campur tangan Tira untuk membuat Raka menikahinya.

Namun, diluar daripada itu Mommy Greta dan daddy Jhon tetap mengutamakan tanggung jawab Raka, mereka yakin suatu hari Raka akan mencintai Silvi. Tentunya mereka akan terus turut andil, sampai Raka benar-benar membuka hatinya untuk Silvi.

****

"Sayang, jangan biarkan mata laki-laki dikampusmu itu memandangmu."

"Max, jangan berlebihan. Tidak ada yang berminat memandangku, okay?".

"Jika tidak ada yang minat, mana mungkin Revan, Raka, bahkan Richard Glew ingin memilikimu." Cibir Max.

"Emang boleh?" Tira mengerlingkan matanya.

"Tidak akan ku biarkan." Max mengusap pipi Tira dengan lembut.

"Kalau begitu, bolehkah aku turun sekarang?".

Max menganggukkan kepalanya, namun menahan lengan Tira. Ia memberikan kecupan dipucuk kepala Tira sedikit lama. Rasanya ia tak ingin berpisah dari wanita yang baru kemarin dinikahinya.

Ia juga tak lupa mengecup hangat perut Tira. Walaupun perutnya belum terlihat membuncit tapi ia merasa sangat mencintai janin yang ada didalam rahim sang istri.

Sebenarnya Max tak ingin Tira kuliah dulu semasa kehamilannya, namun Tira ingin menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Ia ingin menggapai cita-citanya menjadi seorang pengacara.

Saat keluar mobil, banyak mata memandang terutama laki-laki. Max yang melihat pemandangan itu dari dalam mobil ingin keluar dan menghampiri Tira. Tapi, sang istri yang menyadari hal itu segera menggelengkan kepalanya.

Tira melangkah menuju kelas, namun Revan menghampirinya saat ditengah perjalanan.

"Hai Van.." Sapa Tira saat melihat perawakan tinggi, menggunakan jaket kulit berwarna putih dengan senyumannya yang siapa saja akan terpikat kecuali Tira.

" Emangnya Max uda semiskin itu, gak ngajakin lu honeymoon?"

" Ya gak gitu juga kali Van..Van..emang gue nya aja yang masih perlu kuliah, gimana sih ah."

"Hehe,, ya kali lu mau honeymoon sama gue.." Goda Revan.

"Haddaaah.. jangan bilang gitu kalo depan Max, abang lu itu posesif beud.." Ujar Tira.

"Yaelah, yang uda jadi istri abang gue.. " Cibir Revan, dibalas dengan gelak tawa oleh Tira.

Meski Tira tahu betul perasaan Revan bagaimana, tapi ia tetap menghargainya sebagai sahabat. Apa lagi mereka sudah menjadi bagian dari keluarga. Begitu pun dengan Revan, ia berusaha untuk menekan perasaannya pada Tira yang sampai saat ini masih ada sebagai seorang wanita.

Namun, Revan sangat menyadari bahwa kini Tira telah menjadi milik orang lain, dan orang itu adalah saudara sepupunya yang rasa saudara kandung. Jadi Revan akan tetap menjaga perasaannya, hingga mungkin akan ada sosok Tira yang lainnya dimasa yang akan datang.

Saat mereka sedang asik bersenda gurau, Revan melihat Silvi yang hendak menghindari mereka. Revan tak ambil pusing, tapi tidak dengan Tira.

Tira yang mengikuti arah pandang Revan, seketika menghampiri Silvi.

" Sampai kapan lu mau menghindar dari kita? Uda sih biasa aja. Yang berlalu biarlah berlalu." Tira tersenyum tulus pada Silvi.

"Tir.. gue.." Belum selesai bicara, Tira sudah memotong ucapan Silvi.

"Ya sudahlah, lupakan yang kemarin. Yuk masuk ke kelas." Tira menarik lengan Silvi.

"Tapi..." Silvi melirik kearah Revan kemudian menundukkan kepalanya.

"Van...." Tira memicingkan lalu melototkan matanya ke arah Revan agar tidak bersikap dingin pada Silvi, Tira menyadari gerak-gerik Revan yang masih sangat marah atas apa yang Silvi lakukan.

Revan mengedikkan bahunya, lalu pergi meninggalkan dua wanita yang tengah hamil itu. Ia sedang tidak mau pusing dengan urusan wanita.

Tira hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Revan, ia yakin Revan orang yang baik dan hatinya sangat lembut. Ia bukan orang yang pendendam.

Saat mereka berdua masuk kelas, banyak mata yang melihat. Ada yang sinis, ada yang acuh, ada yang biasa-biasa saja. Pasalnya mereka berdua adalah pasangan yang paling sering bolos mata kuliah, khususnya pasca magang.

Namun walau demikian, tidak ada yang tahu mengenai pernikahan, apa lagi tentang kehamilan mereka berdua, kecuali Revan.

Untuk itu Tira dan Silvi masih mengusahakan tetap kekampus walau keadaan mereka hamil. Karena tahun depan mereka kelulusan. Artinya sebelum mereka kelulusan, mereka akan melahirkan.

Sebenarnya bisa saja mereka mengambil cuti, tapi entah kenapa mereka memiliki pemikiran yang sama mengenai pendidikan, yaitu mereka tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Jika bisa sekarang kenapa harus ditunda.



*Hallo... Bagaimana bestie..nungguin yah?*

*Duuhh... Maafkan segala kerepotanku* 🤭🤭

*Ok.  Monggoo.. silahkan lanjut membaca* 😘😍😍

Ku Kira Kita Ternyata KalianМесто, где живут истории. Откройте их для себя