Bab 3 - Nightmare

36K 1.8K 29
                                    

Bali - Juni 2007

Sandy berusaha fokus pada layar laptop di hadapannya, pekerjaannya harus selesai hari ini, pikirannya sudah di set sedemikan rupa.

Tapi hanya bertahan 30 menit, usahanya kembali gagal. Pandangannya tampak kosong, jarinya menggantung di atas keyboard. Pikirannya kembali pada 2 bulan yang lalu, saat dia menghadap Papa, memberitahu tentang batalnya pernikahan dirinya dengan Mai.

Plakkk!

"Allahu Akbar!" Martha menutup mulut dengan tangannya, kaget.

"Papa!" Teriak Sandri kencang.

Reza menampar dengan sekuat tenaga, Sandy merasa kehilangan keseimbangan, pandangannya terasa gelap, telinganya berdenging. Sakit yang dirasanya tidak sebanding dengan sakit hatinya kehilangan perempuan yang dia cintai sepenuh hati, Mai..

Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut Reza, dia hanya menatap anaknya dengan pandangan marah.

Sandy tidak pernah melihat papanya semarah ini.

Sandy tahu, dia sudah membuat seluruh keluarganya malu, semua adalah akibat perbuatannya.

Tapi bukan itu sebab amarah seorang Reza. Ini semua Reza lalukan demi Mai, membalas rasa sakit perempuan yang hampir dinikahi anaknya. Perempuan yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri. Tidak boleh ada yang menyakiti Mai, tidak terkecuali Sandy, anaknya sendiri.

Reza beranjak dari ruang keluarga menuju kamar. Martha hanya bisa menatap sedih pada anaknyab kecewa.

Martha ingin memeluk anaknya, tapi ditahan, Sandy harus belajar menerima konsekuensi dari perbuatannya. Martha menyusul suaminya masuk ke dalam kamar.

"Ndi.." Panggil Sandy lirih pada adiknya, "maaf.."

Wajah Sandri sudah basah dengan air mata. Ditatap abangnya tidak percaya, "kenapa Bang? Kenapa?!"

"I'm so sorry Ndi, I'm so sorry." Sandy tidak menemukan alasan yang tepat atas perbuatan yang telah menyebabkan batalnya pernikahan dirinya dengan Mai.

Sandri tidak berkata apa-apa lagi. Ditinggalkan abangnya sendiri, dia langsung keluar rumah, pergi dengan mobilnya.

Sandy berdiri terpaku seorang diri. Bahkan keluarganya menyalahkannya.

Dia memang berengs*k!

Dia harus pergi dari sini!

Dia harus mendinginkan kepala dan hatinya. Dia harus bersiap-siap, karena setelah ini, dia harus menghadap (mantan) calon mertuanya. Mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dia memang laki-laki tidak tahu diri, tapi bukan seorang pengecut.

Sandy menghela napas kasar. Dengan langkah cepat dia keluar rumah menuju mobilnya. Dia perlu udara segar.

"Pak.., pak Sandy.., Pak!" Sebuah suara mengembalikan Sandy dari lamunannya.

"Eh, ya, kenapa?"

"Maaf, saya perlu tanda tangan Bapak." Salah seorang staf menyerahkan sebuah laporan padanya.

"Saya periksa dulu." Sandy menerimanya.

"Baik Pak."

Sandy meletakkan laporan di meja kerja, bersama tumpukan laporan lain yang sama sekali belum disentuhnya.

Papa menempatkannya di Bali bukan tanpa alasan. Reza ingin Sandy jauh dari Mai untuk sementara waktu, mungkin itu permintaan dari Mai, duga Sandy.

Setahu Sandy, Mai akan bekerja di Andalusia selepas wisuda. Bertemu dengan Sandy adalah hal terakhir yang diinginkan Mai.

Meine BelleWhere stories live. Discover now