BAB LXIV

2.7K 319 66
                                    


Namun setelah kalimatnya selesai, pemandangan yang dia dapatkan setelah membuka pintu membuatnya terdiam membeku. Senyum manis yang tadi terlukis seketika luntur, dan pandangannya tertuju kepada seorang pria yang meliriknya tajam.

Pria itu melempar warrior yang selesai dipukulinya hingga menghantam dinding dengan santai, tetap berada ditempat dia berbalik badan menatap Erza lebih jelas sambil memiringkan kepalanya. "Kupikir hidungku salah, ternyata memang benar ada yang datang" ucapnya tetap menatap Erza tajam.

Erza masih tidak bisa mengatakan apapun, setelah menatap pria disana sekilas, gadis itu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari semua warrior yang tergeletak dilantai dengan tubuh penuh luka dan darah. Amarah dan rasa kesal yang tadi sudah diredamnya kembali muncul, Erza menautkan alisnya.

Tanpa rasa takut Erza masuk begitu saja, gadis itu melihat kondisi semua warrior itu satu persatu yang kondisinya sungguh mengerikkan. "Apa yang kau lakukan pada mereka?" tanya Erza, menatap langsung pria itu.

"Berlatih tentu saja" jawab pria itu bingung dengan Erza yang tidak merasa terintimidasi dengan tatapannya.

Mendengar jawaban pria itu membuat Erza samakin terbawa kesal, gadis itu menghampiri pria tersebut tanpa sepatah kata dan tanpa peringatan Erza melayangkan kepalan tangannya dengan keras. Erza memukulanya tepat mengenai ulu hati, membuat pria dihadapannya tersentak dan tumbang hanya dengan 1 pukulan.

"Maaf, aku sedang berlatih" ucap gadis itu santai sambil menatap pria tersebut merintih dihadapannya.

Erza tidak bodoh, dia bisa membedakan apa itu berlatih dan menyiksa. Dan yang pria itu lakukan bukanlah berlatih, tetapi menyiksa. Pria itu menghajar warrior warrior tersebut seperti ingin membunuhnya, dan Erza tidak terima akan hal itu.

Selagi pria itu masih merintih dan terbatuk, Erza melanjutkan ucapannya "Aku tidak bodoh, yang kau lakukan adalah menyiksa mereka. Kau menghajar mereka seperti ingin membunuhnya" Erza menatap tajam pria tersebut.

Namun pria itu menanggapi ucapan Erza dengan seulas seringai, dan dengan santai berkata. "Aku adalah gamma disini, aku pemimpin mereka. Jadi aku punya hak atas mereka" pria itu bangkit lalu mencengkram dagu Erza dan mendorong gadis itu menjauh dari hadapannya.

Tidak disangka, tangan kecil gadis itu terasa begitu menyakitkan saat dipakai untuk memukulnya. Ulu hatinya terasa sakit sekarang, bahkan tidak ada 1 pun warrior yang dapat memukulnya seperti ini. Sambil menahan sakitnya, pria itu menarik kerah belakang kemeja yang Erza pakai sampai gadis itu berdiri diluar gedung.

"Pergilah dari sini" ucapnya lalu melirik 2 mangkuk makanan yang tergeletak ditanah begitu saja.

"Dan bawa makanan itu bersamamu" imbuh pria itu lalu menutup pintu kayu itu rapat rapat.

Erza berdecak kesal, lalu bagaimana dengan mereka semua. Mereka terluka dan gadis itu takut kalau pria tadi akan meneruskan perbuatannya. Dicobanya membuka pintu itu, namun pintu itu tidak bergerak sama sekali.

"Buka!" teriaknya berulang kali namun tidak mendapatkan satupun sahutan.

Gadis itu pergi dari sana, membawa mangkuk berisi makanan yang tadi dibuatnya. Tanpa aba aba dia memberikan 2 makanan itu kepada omega yang berpaspasan dengannya dilorong tanpa mengatakan apapun dan gadis itu berlari dengan cepat setelahnya. Satu tempat yang ingin ditujunya adalah ruang kerja Alex, bagaimana bisa pria itu memperkerjakan orang seperti itu.

Membuka pintu ruangan Alex lebar lebar, Erza menoleh kesegala arah mencari keberadaan Alex. "Alex!" panggilnya sedikit keras sambil menatap sekitar kebingungan, ruangan itu terlihat sepi.

Sniper Mate: Demon BloodWhere stories live. Discover now