BAB XLVIII: Black

3.7K 380 33
                                    

Black


Langit mulai beranjak malam, awan awan jingga yang dilihatnya tadi saat pertama kali menapakkan kaki dipinggiran hutan kini menjadi hitam. Sambil mengatur nafasnya gadis itu berlari menyusuri hutan, mengikuti lokasi yang ditunjukkan oleh ponselnya. Dan ada satu hal yang dibingungkannya, sudah berjam jam dirinya berlarian didalam sana, namun dia tidak segera sampai ditempat tujuan.

Seolah mempermainkannya agar terus berputar putar dihutan itu, sengaja membuatnya datang terlambat. Erza sadar akan hal itu saat dirinya ingat sudah melewati pohon yang digoresnya dengan belati itu selama beberapa kali. Padahal dia tidak mengambil arah lain selain mengikuti arah yang ditunjukkan oleh ponselnya.

Erza menghentikan larinya, mendekati pohon tersebut lalu menyandarkan dirinya disana. Tenggorokannya terasa kering dan nafasnya masih tersenggal senggal. Kenapa dia baru sadar sekarang, ia tak perlu mengikuti jalan berkelok kelok yang ditunjukkan oleh ponselnya.

Ia hanya perlu berlari lurus kedepan sana. Menghela nafas panjang sambil meruntukki betapa bodoh dirinya dikala panik, Erza berjalan lurus kedepan. Setidaknya dia harus menyimpan sisa energi untuk dipakainya kabur nanti, jika keadaan memang tidak memungkinkan.

Erza menatap sekitar, pohon pohon disekitar mulai tampak asing baginya. Pohon itu begitu besar dan tinggi, apalagi batangnya yang berdaun lebat itu menutup pencahayaan dari luar. Membuat Erza harus menyalakan senternya sambil tetap memantau lokasi.

Jika gadis itu lihat, seharausnya sudah tidak jauh lagi. Namun hutan itu tampaknya semakin gelap saat semakin dimasuki, lampu senter ponselnya bahkan tidak cukup berguna menerangi jalan yang harus dilewatinya.

Sreeett

Bruk

"Ck" decak gadis itu setelah terpeleset. Membuat ponsel yang tadi dibawanya sekarang terpental entah kemana.

Ia menoleh kekanan dan kiri mencari keberadaan ponselnya, namun tak ditemukannya. Lalu bagaimana dirinya bisa melanjutkan perjalanan disaat ia tak dapat melihat apapun.

"Butuh bantuan, manis?"

Mendengarnya, Erza seketika menoleh kesembarang arah. Memastikan dimana keberadaan orang yang menawarinya itu. Dan jawabannya, Erza tak dapat melihat apapun walau matanya terbuka.

"Dimana?" tanya gadis itu bingung lalu merasakan seseorang menggapai tangannya, membantunya berdiri dari jatuhnya.

Tanpa sepengetahuan Erza, pria itu tersenyum menatapinya dari balik kegelapan. Sambil tetap menggenggam tangan Erza, pria itu terus menatapinya tanpa bisa menoleh kearah lain.

"Um, terima kasih" ucap gadis itu melepas paksa tangannya yang terus digenggam sambil tersenyum sekilas. Walau dirinya tidak yakin kalau orang itu akan melihat senyumnya atau tidak.

Berjalan sedikit menjauh gadis itu merunduk untuk mencari ponselnya lagi, tanpa penerangan tidak ada yang dapat dilihatnya didalam hutan ini. Seolah dia buta secara mendadak.

"Apa yang kau cari?"

"Aku mencari ponselku yang terjatuh" jawab Erza masih sibuk dengan kegiatannya.

Hening sejenak, namun Erza tak merasakan bahwa orang itu pergi meninggalkannya. Ia merasakan kalau orang itu sedang menatapinya, Erza menautkan alisnya tidak suka sambil menyimpan rasa kesalnya.

"Apa yang dilakukan gadis manis sepertimu dihutan gelap seperti ini?"

"Aku sedang mencari seseorang yang menculik papaku" jawab Erza lalu terdiam mendengar jawabannya sendiri.

Sniper Mate: Demon BloodΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα