BAB LXXV: D-Day

2.4K 259 13
                                    


D-Day

"Luna, tolong buka pintunya" Entah sudah sejak kapan seruan itu terdengar ditelinganya tanpa menerima sebuah sahutan, dan untuk yang kesekian kalinya dia hanya bisa membuka mulutnya tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun untuk menjawabnya.

Memegang kepalanya yang terasa sedikit pening, dia berdiri membelakangi pintu yang sudah dikuncinya sejak kemarin malam. Dimana kejadian mengerikkan itu terjadi selayaknya mimpi buruk baginya, hingga dirinya tidak tau lagi harus mengatakan apa untuk menjelaskannya.

Kembali berjalan menuju sudut ruangan, Erza berdiri terdiam disana sambil menatapi dirinya sendiri. Wajah datarnya terlihat membutuhkan sebuah penjelasan, setidaknya itu terlihat sedikit lebih baik dari wajah paniknya ketika barusaja bangun dari tidurnya.

Bagaimana tidak, bisakah kau menjelaskan jika apa yang dilihatnya hanyalah sebuah ilusi belaka. Beberapa mata dilengan kirinya, pakaian juga tubuhnya yang penuh dengan darah kering, belum dengan sepasang sayap kecil dipunggungnya. Sayap yang jika direntangkan hanya akan sepanjang setengah lengannya itu terlihat benar benar kecil dimatanya.

Dan lagi, bagaimana bisa dia merentangkan bahkan mengepakkannya dengan sangat mudah. Erza tidak pernah ingat jika dirinya memiliki sepasang sayap kecil ini, apakah setelah ini dia akan belajar terbang seperti seekor burung kecil.

'Ini lucu' pikirnya sambil tersenyum kebingungan, dia masih tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi dengan tubuhnya sendiri.

Mengesampingkan hal itu, ada satu hal yang mengganggu benaknya sedari melihat darah kering yang mengotori wajah juga pakaiannya. 'Apa aku benar benar memakan mereka?' pikirnya sambil menautkan alis, bertanya tanya kepada dirinya sendiri.

Erza ingat jika dirinya tidak benar benar membunuh mereka tadi malam, tapi disaat rasa laparnya datang menghampirinya secara tiba tiba. Pengelihatannya menghitam seketika, ketika hal itu terjadi hanya 1 hal yang menghampirinya.

Aroma harum yang mengingatkannya dengan masakan Amon, yang membuatnya selalu merasa lapar dan ingin memakannya lebih banyak lagi. Hanya itu yang diingatnya, karena setelah dirinya membuka mata semua orang itu sudah menghilang dari pandangannya, meninggalkannya dengan mulut penuh darah juga sikembar yang menatapnya ketakutan.

"Luna, anda berada didalam bukan?" seruan itu kembali mengintrupsinya, Erza hanya menoleh kearah pintu yang masih terkunci itu.

"Luna, anda baik baik saja?"

"Iya, aku berada didalam dan baik baik saja" jawab Erza santai tanpa mendekati pintu.

"Kenapa anda mengunci pintunya?"

"Bisa kalian tunggu sebentar lagi, aku akan membereskan semua ini lalu membuka pintunya" ucap Erza memandangi pakaiannya yang penuh darah.

Melirik kearah pintu karena tidak mendapatkan jawaban, Erza menambahkan. "Bisakah kalian mengambilkanku sarapan selagi menunggu, aku ingin makan sayuran"

"Baik Luna, akan kami ambilkan" jawab mereka serempak, dan dapat Erza dengar suara langkah kaki mereka menjauhi ruangannya.

Mendengus, Erza melirik kebelakang pundaknya. Sekarang bagaimana cara untuk menutupi sepasang sayap dipunggungnya ini.

"Bagaimana cara aku menyembunyikan ini" gumannya bingung sambil mengepak ngepakkan sepasang sayap kecilnya dengan kesal.

Dengan wajah merengut, gadis itu berjalan masuk keruang pakaian tanpa tau harus mengambil apa. 'Pakai mantel' mendengar suara itu tiba tiba keluar, Erza berdecak seketika.

"Kemana saja kau pergi, tidak bisakah kau menghilangkannya" ucap Erza kesal dan kembali mengepak ngepakkan sayap kecilnya hingga terlihat lucu.

Mendengar suara itu menertawakannya, Erza diam dengan wajah kesal. Dia pikir tidak ada gunanya dia bertanya, apapun pertanyaannya suara itu pasti akan selalu menertawakannya. Dan tawa itu terdengar seolah mengoloknya dan mengatakan betapa bodoh dirinya sekarang, bodoh karena tidak tau fakta apapun tentang dirinya sendiri.

Sniper Mate: Demon BloodWhere stories live. Discover now