7. Pacar Baru

94 21 0
                                    


Jonah menutup pintu mobilnya. Membuka ponsel untuk mengecek pesan. Masih belum dibalas. Ia menghela pelan, menjernihkan pikirannya yang telah kusut. Mungkin sebentar lagi. Begitu kata pikiran positifnya.

Jadwal hari ini adalah mengisi KRS dan pengambilan almamater. Dia sengaja datang lebih lambat dari yang seharusnya mengingat sang mantan biasanya demikian. Biar ketemu gitu loh.

Belum jauh melangkah pandangannya sudah terganggu. Ia menyipit tajam, mencoba memastikan bahwa yang dia lihat adalah orang lain. Oh tidak, ternyata dua insan yang bejalan ke arahnya memang sang mantan dan ah entahlah. Dia tidak tahu siapa namanya.

Memang tidak terlihat akrab, namun keduanya saling bertukar kalimat. Dia mulai curiga bahwa keduanya sudah sampai tahap menuju pertemanan.

Tunggu..teman?

Kepalanya menggeleng. Laki-laki dan perempuan tidak akan pernah bisa murni berteman. Jika lama dibiarkan dia takut hati salah satu dari dua orang tersebut melunjak ke arah lain. Fix, harus segera dimusnahkan.

Kobaran api kecil di dadanya berubah besar karena bahkan objek yang dia dekati tidak memberinya atensi sama sekali. Ayolah, dia mengenakan kaos putih dan rambutnya bahkan juga berwarna senada. Di bawah langit biru yang cerah begini mustahil dia tidak mendapat atensi mengingat warna yang melekat padanya mencolok di mata manusia.

"Jojo?"

Amy mengangkat kepala untuk melihat wajah tampan di depannya. Meringis kemudian dibuat tinggi Jonah yang kian seperti tiang listrik.

"Kita perlu bicara."

Bicara? Amy merengut bingung memikirkannya.

Jonah terpaksa menghela nafas. Pria di samping Amy sungguh tidak menyadari ketidaksukaannya dan itu amat meresahkan untuk diterima.

"Berdua," katanya sembari melirik sinis pada Davis.

"Oke."

Davis mengangkat kedua tangannya. "Gue duluan.

Hampir dia berbalik penuh ketika sesuatu yang tidak diminta melesak di kepalanya. "Gue tunggu di lobby."

Tatapan Jonah menjadi runcingan tajam yang siap menusuk. Davis paham maksudnya, tapi entah kenapa dia malah meresponnya dengan senyuman.

***

"Gue tahu lo bego." Januar meletakkan tumpukan folder dokumen ke meja. "Tapi tolong, jangan cari masalah dengan cowok bernama Jonah Pradava itu."

Rehan menaikkan pandangan pada kakaknya tanpa memperdulikan kakinya yang masih melintang di atas meja.

"Rey, dia itu Jonah Pradava Alexander."

"Gue juga Rehan Alexander."

Januar memejamkan matanya erat-erat. Begitu ia merasa amarahnya berhasil dipendam, ia pun mengulas senyum terpaksa.

"Yes we are, tapi kita Alexander KW."

Dia mendekati Rey, menapakkan kedua tangannya di sisi meja.

"Listen!"

"Jangan sok inggris di depan gue."

"Sorry, gue lupa kalau itu membuat lo merasa begitu bodoh."

"Insecure tepatnya."

"That's what I mean." Januar menegakkan diri. Keseriusan perlahan-lahan mendominasi penuh wajahnya. "Tuan Alexander itu bukan cuma punya kekayaan, tapi juga kekuasaan. Keduanya memberikan dia maupun anaknya privilege. Dan fakta sialannya, dia begitu menyayangi anak-anaknya. Bukan seperti ayah kita yang bahkan tidak akan peduli jika kita mampus."

Between [END]Where stories live. Discover now