49. The One

48 14 0
                                    

play lagunya ya

.
.
.

Sendok makan berdenting dari satu sisi ke sisi yang lain. Percakapan mengudara. Sebagian besar tentang bisnis dan pencapaian. Sering kali dilebih-lebihkan dalam kosakata yang tinggi.

"Lihat Kakak-Kakak kamu."

Davis otomatis melirik dua laki-laki di sampingnya. Masing-masing mengenakan setelan jas. Salah satunya mengenakan kacamata. Yang lain memiliki parut di alis.

Entah disengaja atau tidak. Davis melihat keduanya mengangkat dagu sebagai respon.

"Usaha mereka berjalan lancar. Sekarang sudah masuk ke dalam urutan terbaik se-Asia."

"Davis masih muda, Pa." William berkata acuh.

"Kamu masih dua puluh saat memulainya."

Tidak senang saudaranya dibanggakan. Gorge angkat bicara. "Bukankah lebih menakjubkan Alexander muda itu? Dengar-dengar dia memulai dari masa SMA."

"Kamu tidak bisa membandingkan sapi dari peternakan dan alam."

"Kenapa tidak? Keduanya sama-sama sapi." Gorge tersenyum. Dia puas untuk wajah kesal dari kakaknya tersebut.

"Mungkin kamu sebaiknya memulai usaha dari sekarang."

Sekarang atensi kembali berpusat pada Davis. Cowok itu jelas membencinya. Masing-masing seolah berhak menggerakkan dirinya ke titik manapun.

"Kamu berhubungan dengan Louis Jeyanandika, bukan?"

"Hanya kebetulan."

Davis memotong daging di piringnya. Dia tidak bisa membahas Louis. Hubungan mereka telah merenggang. Dia menarik diri untuk melindungi Amy.

Bukan bayaran Louis yang kurang atau manfaat lain yang pudar, tapi ini tentang perasaannya. Meski benci mengakui, Davis terpaksa bilang kalau dia menyukai Amy.

Cewek itu sendiri sudah berada di antara Jonah dan Louis. Dia mana bisa ikut bergabung. Bukan saja kesulitan menang. Davis pun memikirkan ketenangan Amy. Menurutnya, itulah esensi dari cinta, yakni sebuah pengorbanan.

"Kebetulan karena apa?" Gorge tertarik. Dia sendiri tidak bisa mendekati Louis lebih dari hubungan kerja.

"Dia dosen di kampus aku."

"Lalu?" tuntut James-ayah Davis.

"Kami berbicara tentang materi bisnis, kemudian begitulah."

Davis menyumpal potongan daging di atas lidah. Mereka yang hendak berbicara pun mengurungkan niat.

Tidak mau ditanyai lebih jauh. Setelah menghabiskan sepiring steak dan segelas wine, Davis memutuskan pulang dengan urusan kampus selaku alasan.

Panggilan Louis masuk ke ponsel. Davis sudah menerimanya dari sore, tapi dia belum mengangkat sama sekali. Pembicaraan terakhir Louis adalah paksaan untuknya tetap di sisi Amy. Itulah kenapa Davis enggan menjawab.

"Saya tetap menolak."

"Bukan itu yang mau saya bicarakan." Louis langsung menyanggah.

"Ini tentang Amy."

Tahu-tahu punggung Davis telah melurus. Kemalasan dalam dirinya ditelan oleh keingintahuan.

"Amy?"

"Amy menghilang."

Nafas Davis tercekat di tenggorokan.

"Kemarin kami masih sempat berkirim pesan."

"Kemarilah dan jangan beritahu siapapun untuk sementara waktu."

Between [END]Where stories live. Discover now