15. Egois

52 15 0
                                    

"Mana?"

Jonah mengangkat pandangan. Amar sudah datang. Lebih lambat beberapa menit dari yang ia minta.

"Nih."

Dia menggeser paperbag. Isinya adalah ayam goreng, satu loyang pizza, donat dan banana milk. Sengaja dia membelinya sebelum pulang. Berpikir bahwa Amy butuh camilan malam sembari bermain ponsel.

Amar mengangkat paperbag ke dadanya. Terkejut karena isinya tidak sebanyak yang biasa.

"Tumben cuma sedikit."

"Gue lihat tadi dia diantar sama Si Louis. Pasti udah makan di luar."

Jonah menutup kulkas. Membawa stroberi yang ia ambil ke meja. Rautnya tertekan dalam. Langsung membuat Amar mengerti perasaannya.

"Lo kan udah kaya, Bang. Masa gak bisa melengserkan Si Louis."

Ini terus yang membuat dia bertanya-tanya. Jonah memiliki kemampuan dan sumber daya untuk mengalahkan Louis. Anehnya kenapa tidak pernah bertindak. Padahal tiap detiknya keinginan Jonah adalah bersama Amy.

"Lo kira ini semua cuma tentang kekayaan?"

"Jadi? Tentang perasaan kakak gue?"

"Mungkin."

Jonah menuangakan semua stroberi ke bak cuci. Menyalakan kran untuk mulai membasuhnya satu persatu. Dia tengah tidak ingin makan, namun merasa lapar. Alhasil dia memilih membuat stroberi smoothies yang kaya protein.

"Tapi dia kayaknya masih suka sama lo deh, Bang."

Amar melihatnya terus. Bagaimana Amy membicarakan dan memandang Jonah. Keduanya lebih dalam daripada untuk Louis.

"Kayaknya, bukan sebenarnya."

"Lo Jonah bukan sih? Biasanya gak pernah pesimis loh."

Jonah memasukkan seluruh stroberi ke dalam blender, menambahkan susu, bubuk protein dan kemudian menekan tombol on. Suara berisik segera naik ke udara. Menghalangi niat Amar untuk melanjutkan kalimat.

"Tapi terserah lo deh."

Amar beranjak. Membawa keluar paperbag bersama. Jonah menghela nafas. Menekan kedua tangan pada pinggir pantry seraya menatap pintu yang sepi.

Dipikir-pikir kalimat Amar memang benar. Hari ini dia merasa pesimis sekali. Semakin menjadi karena melihat Amy pulang bersama Louis.

Di luar sana tanpa sepengetahuannya, entah sudah seperti apa hubungan mereka berdua. Mungkin lebih intens daripada dia dan Amy. Mengesalkan pula sebab Amy tidak berusaha melepaskan diri. Jangan-jangan malah sudah nyaman bersama Louis.

"Selama ini mungkin gue cuma mengira-ngira kali ya?"

Dia mengambil mug kaca bersih. Menuangkan seluruh smoothies ke dalamnya.

Lagipula apa yang membuat Amy mau bertahan sama gue?

Beputar semua perbuatannya di benak. Mengintimidasi, mengancam dan memarahi Amy. Segala-galanya tentang dia dan Amy bahkan diawali oleh paksaan. Dia tidak pernah sepenuhnya dipilih Amy, melainkan dia yang membuat Amy memilihnya.

Itulah kenapa kini dia ingin Amy memilihnya. Dia mau hubungan mereka sepenuhnya keinginan kedua belah pihak.

***

Amy tidak tahu bahwa pembelajaran siang itu mengenakan laptop. Alhasil dia mondar-mandir dengan gelisah.

Tadinya dia ingin meminta Amar mengirimkan. Sayangnya bocah sebagai satu-satunya harapan itu masih di sekolah.

Between [END]Where stories live. Discover now