32. Kalah

47 11 0
                                    

"Kamu berangkat ke pesta dengan pakaian seperti ini?"

Amy menurunkan pandangan pada tubuhnya. Dia mengenakan gaun sebatas lutut dengan warna oren.

"Apa dress code-nya memang begini?"

"Gak tahu."

"Setidaknya tanyakan dulu. Memakai sembarangan akan membuat kamu dipermalukan."

Amy duduk di samping Louis. Dia mengirim pesan pada Virka untuk bertanya tentang dress code.

"Katanya bebas."

"Pestanya malam. Warna silver, putih dan hitam paling bagus."

"Oren?"

"Itu norak Amy."

Amy merengut. Dia suka warna oren. Itu akan bagus jika dipakai sekarang.

"Bagaimana dengan warna peach? Itu juga bagus dipakai malam hari. Warnanya hampir mendekati oren."

"Terserah Louis."

Amy pasrah. Pilihannya akan berbeda dengan Louis. Tentu saja, pada akhirnya Louis yang menang.

"Ayo."

Louis berdiri. Dia mengancingkan kembali jasnya. Tadi dia langsung ke rumah Amy sebelum sempat pulang untuk berganti pakaian.

"Louis yang antar?"

"Ke butik saja. Nanti perginya sama Davis."

"Eh iya. Davis juga pergi."

Mereka berpamitan lebih dulu. Sesudahnya Louis memeluk pinggang Amy untuk menghampiri mobil. Begitu masuk, Trian langsung melajukan kendaraan.

"Mau uang jajan lagi?"

Louis menyapu surai panjang Amy yang telah dibuat bergelombang.

"Louis kan baru ngirim sepuluh juta."

"Siapa tahu sudah habis."

"Belum kok," bohong Amy. Namun sedikit tidaknya dia merasa lega. Louis tidak bertanya ke mana perginya uang tersebut.

"Oh iya." Amy menoleh. Di waktu yang sama Louis juga berbuat demikian. Alhasil wajah mereka beradu. "Kenapa pertunangan kita tidak diliput media? Padahal kemarin ada wartawan. Terus, udah ada undangan untuk teman-teman aku. Kenapa mereka bilang tidak dapat? Apa tidak disebar?"

Dihadapan pada pertanyaan beruntun membuat Louis kewalahan. Oleh karenanya dia menarik pandangan dari Amy.

"Saya kira kamu tidak ingin pertunangan kita dipublikasikan. Biar bagaimanapun saya sadar, kamu masih menyukai Jonah. Kamu pasti ingin terlihat masih available untuknya."

"Jadi ini yang namanya playing victim."

"Kamu bilang apa?" Louis memandang tepat ke mata Amy. Tidak ada sorot takut atau kemarahan. Amy tampaknya hanya berkata secara spontan.

"Iya, playing victim. Louis sendiri yang membuat keputusan. Kenapa jadi aku yang disalahkan? Aku kan gak nyuruh Louis untuk menyembunyikan pertunangan dari publik."

"Saya punya banyak musuh. Ada baiknya informasi kamu tidak diketahui."

"Ah begitu rupanya." Amy manggut-manggut dibuatnya.

"Maaf."

"Gak apa-apa." Amy tersenyum. "Itu pasti penting untuk Louis."

"Manisnya."

Louis memegang pipi kiri Amy. Dia lalu mendaratkan bibir di sana dengan cepat.

"Louis!"

"Trian tidak akan melihat."

Between [END]Where stories live. Discover now