18. Tunangan

66 14 0
                                    

Louis mengguncang gelas winenya. Matanya sudah tinggal 5 watt, tapi dia masih enggan tidur.

Masalahnya dengan Amy telah tuntas. Setidaknya begitu yang ia simpulkan dari respon Amy akan cat akrilik yang dia belikan.

Bukan senyum biasa. Amy seolah puas akan apa yang ia dapatkan. Louis jadi tersenyum geli mengingatnya.

Itu kan hanya cat akrilik. Kenapa Amy berlebihan? Tapi baguslah. Itu membuat masalahnya selesai.

"Mama kira kamu sudah tidur."

Rea meletakkan tasnya di meja. Duduk  menyamping untuk melihat profil samping putranya. Tampan seperti suaminya. Malah di beberapa hal lebih sempurna.

"Aku tidak bisa tidur."

Louis mengembalikan gelas ke meja. Rea meraihnya, mengisi dengan wine baru.

"Kenapa? Sesuatu mengganggu pikiran kamu?"

"Amy."

Louis menyentak napasnya. Membanting kemudian punggungnya pada sandaran kursi. Ia merasa kesal tanpa sebab. Ketika matanya memandang langit-langit ruangan yang mendapat cipratan sinar kuning dari lampu di belakang rak kaca minuman, ia terdiam lama. Menelaah ulang apa yang ia rasakan.

"Kenapa dengan Amy? Dia masih bertemu mantannya itu?"

"Bukan sekedar itu. Dia sepertinya malah masih mengandalkannya."

Akhirnya Louis tahu apa yang membuat hatinya kesal, yakni Jonah. Tepatnya lagi hubungan antara Amy dan Jonah.

"Lalu?" Rea menyesap wine dari gelasnya. Tidak melepas tatapan dari wajah putranya.

"Aku mau itu menjadi milikku. Lagian sudah seharusnya begitu. Karena aku adalah kekasih Amy. Pemilik dirinya."

"Apa itu yang penting?"

Louis menurunkan pandangan pada mamanya. Hari sudah malam, tapi riasannya masih sempurna.

"Menggantikan nama mantannya dengan nama kamu. Memastikan dia mencintai kamu seorang dan bukan pria lain. Jelas di sini kamu yang mencintainya. Kenapa berharap dicintai kembali? Kamu betul-betul cinta atau mau mendapatkan cinta?"

Dahinya berkerut tanpa diminta. Pembuktian langsung bahwa otaknya di dalam sana tidak paham akan apa yang baru saja mamanya katakan.

"Oh iya."

Rea meletakkan gelasnya. Isinya sudah tandas.

"Papamu meminta mama menyampaikan ini."

"Apa itu?"

Dia menegakkan punggung. Sudah merasakan aura krusial dari perubahan raut mamanya.

"Kakek kamu akan mewariskan perusahaan pada kamu. Jadi setidaknya kamu harus bertunangan untuk meyakinkannya bahwa kamu akan akan memberikan penerus."

"Bertunangan?"

Itu sesuai dengan yang ia inginkan. Tahap selanjutnya dari hubungannya bersama Amy sebelum berakhir di pelaminan. Tapi masalahnya saat ini Amy belum siap untuk menerima dirinya. Bagaimana dia bisa bertunangan dengannya?

"Itu harus cepat dilakukan."

Rea tersenyum menyudahi kalimatnya. Ia bangkit, membawa pergi tasnya ke dalam kamarnya.

Louis mengusak wajah. Baru saja masalahnya dan Amy usai. Ini malah lahir pula masalah baru. Apa mereka tidak bisa menjadi pasangan normal saja?

***

"Tunangan?"

"Iya."

Louis menarik kedua tangan Amy. Menggenggamnya erat seolah takut bahwa perempuan itu akan kabur seandainya ia melepaskan genggaman.

Between [END]Where stories live. Discover now