25. Takut

44 13 2
                                    

"Cemberut melulu muka lo. Jelek tahu."

Jangankan tawa, menoleh pun tidak. Vila mengelus dada. "Untung gue orang sabar," ujarnya.

"Si Corbyn cuma mau nolong."

Bukan berniat membela, tapi Pasha kira Jonah perlu memahami kebenarannya. Jika tidak demikian, wajahnya pun akan terus merengut seperti kulit jeruk yang telah busuk. Orang-orang di sekitarnya, termasuk dia tentulah menjadi tidak nyaman.

"Lagian Corbyn mah cuma kayak ondel-ondel, Bos. Amy gak mungkin oleng," tambah Jack.

Corbyn mendelik. Enak saja dia direndahkan begitu. Parahnya hanya demi menyenangkan Jonah si pihak yang bersalah.

"Dasar bocah prik."

Seolah sadar, Jack menepuk bahu Corbyn. "Canda, Bro. Itu cuma demi menyenangkan hati bos besar," katanya setengah berbisik.

"Tapi memang bener sih, lo sama Jonah kalah jauh."

Sekarang Corbyn berharap Jack tidak usah sekalian membujuknya. Tidak ada guna. Ujung-ujungnya dia dijatuhkan juga ke tanah.

"Loh belum pesan minuman?"

Karina duduk di samping Jonah. Laki-laki itu langsung bergeser, menciptakan jarak yang cukup lebar.

"Moctail deh," kata Vila. "Gue gak boleh mabuk-mabukan. Nanti pulang langsung dicoret dari KK lagi."

Jack mendelik. "Beuh, tumben lo gak jadi anak durhaka."

"Pensiun bentar. Gue udah buat banyak masalah. Jadi harus menjadi anak baik untuk sementara waktu."

"Oh gara-gara lo kuliah itu." Jack manggut-manggut. Telah mendengar lebih dulu curhatan Vila sebelumnya.  "Eh Kar, nitip bir sekalian ya."

"Panggil gue Na."

"Karina, singkatnya Kar. Itu juga benar kan?"

"Gue gak suka."

"Tapi gue suka."

Karina merotasikan mata pada Jonah. Dia telah bertopang dagu pada lengan sofa. "Jo, lo mau apa?"

"Sama."

"Oke."

Karina berdiri. Pergi begitu saja tanpa bertanya pada Pasha dan Corbyn.

"Perasaan gue gak enak deh." Jack menyenggol Pasha. "Gih tolong pesan buat gue."

Pasha berdiri. Diikuti oleh Corbyn. Sudut mata Jonah mengikuti. Padahal dia tahu Corbyn tidak salah, tapi tetap saja dia kesal setiap melihat wajahnya.

"Perkara dulu udah lewat."

Vila menyandarkan punggung. Melupakan dulu semua masalahnya. Ini waktunya bagi mereka untuk mengobrol akan topik yang sama.

"Lagian Corbyn kan gay," sambung Jack. "Lo gak perlu takut dia merebut Amy."

"Gue gak takut."

"Tapi?" desak Vila.

"Kesal."

Jonah menurunkan tangannya. Membiarkannya jatuh ke sisi luar lengan sofa.

"Gak boleh begitu, Jo. Si Corbyn masih belum membuat masalah. Nanti deh. Kalau dia udah buat masalah, nah baru lo boleh kesal sama dia. Dihajar sekalian juga gak masalah."

"Kalau mau sekarang gue pakai taktik divide et impera nih. Lo jadi punya alasan untuk kesal sama dia. Gimana?" tawar Vila.

Jonah menggeleng. Meski kesal, dia masih punya akal. Tentu tidak mungkin membuat-buat masalah agar bisa saling membenci. Begini dia akan menjadi tokoh antagonis.

Between [END]Where stories live. Discover now