41. Egois Vs Lemah

51 15 11
                                    

Louis menghela nafas untuk kesekian kali. Asap putih melewati wajahnya. Bau daging dan kayu mengikuti. Benar-benar merusak suasana hati.

"Louis kok keringetan?" heran Amy.

"Sayang, lain kali coba kamu ngajak makan itu ke tempat yang ada AC-nya. Begini bikin gerah. Bagaimana bisa makan dengan tenang?"

"Namanya juga warung sate, Mas. Ya kali pakai AC. Kalau mau bawa sendiri dari rumah," sela si penjual.

"Di luar sana banyak warung sate yang memiliki AC. Bilang saja kamu tidak mampu."

Amy menarik pipi Louis ke arahnya. "Louis jangan ngomong gitu. Kasihan penjualnya. Dia mungkin memang gak mampu bikin warung pakai AC."

"Kalau begitu mending sekalian gak usah jualan."

"Mas mending pergi deh," usir si penjual. "Tuh lihat, nambah kerusuhan lagi."

Si penjual menunjuk ibu-ibu yang berkumpul. Mereka diam-diam memotret Liam, berpikir dia adalah salah satu artis.

"Pak, satenya dibungkus saja ya," pesan Amy.

"Lagian ya neng kenapa gak sama cowok yang kemarin? Meski mukanya mirip penjahat, tapi kelakuannya sopan. Saya aja dikasih tips dua ratus ribu."

Louis sontak menatap Amy. "Apa itu Jonah?"

Amy tercengir. Dia memang pernah makan beberapa kali bersama Jonah di tempat tersebut.

"Nah Jonah namanya," sambung si penjual. "Dengar-dengar anak orang kaya. Mending sama dia neng. Daripada ini? Gayanya aja sok. Mungkin pegawai kantor abal-abal."

"Kamu tidak punya televisi?"

"Punya, tiap hari saya nonton Upin Ipin sama anak-anak."

"Pantas, Upin Ipin doang di otak kamu. Saya sering kali muncul di berita"

"Louis udah." Amy menahan dada Louis. Pria itu memungut jasnya.

"Ayo pindah. Kita cari penjual yang lebih sopan."

"Begini saja emosian, apalagi nanti saat berumah tangga. Jangan mau, Neng. Nanti jadi korban KDRT."

"Kamu diam ya. Jangan sok tahu tentang saya."

Amy buru-buru mengeluarkan uang pada si penjual. Maka setelahnya mereka kembali ke dalam mobil.

Si penjual memperhatikan sinis sampai mobil itu menjauh. Barulah kemudian dia membuat panggilan.

"Gimana?"

"Sudah siap, Bos. Orangnya udah naik darah."

"Bagus, nanti gue mampir setelah pulang ngampus."

"Saya tunggu, Bos."

***

"Padahal sate di situ enak," sungut Amy.

"Sate di restoran lebih enak."

Louis masih mengelap lehernya. Itu semua banjir oleh keringat.

"Louis kenapa selalu egois sih? Dari dulu selalu aja mikirin kemauan sendiri."

"Kemauan saya adalah yang terbaik."

Louis membuka botol air. Dia menegaknya hingga setengah. Betul-betul gerah dibuat keadaan warung tadi. Ditambah nama Jonah yang diagung-agungkan, dia kian panas.

"Masih mau makan sate di sana?"

Pertanyaan balik dari Louis sama saja perintah untuk mengatakan tidak. Oleh karenanya Amy menggeleng, menolak.

Between [END]Where stories live. Discover now