22. Siap

42 10 11
                                    

Louis mengusak rambutnya. Semakin lama dilihat dia merasa semakin kesal. Kenapa Jonah malah merubah warna rambutnya menjadi hitam? Katanya itu warna yang Amy suka. Benar. Louis juga telah mendengar perkataan Amy kalau rambutnya lebih cocok dengan warna hitam. Jadi mungkin memang benar bahwa Amy menyukai pria dengan rambut bewarna hitam, bukan putih seperti yang Jonah pakai sebelumnya.

"Trian, berhenti di salon semalam."

"Baik, Pak."

Louis menyakukan ponselnya. Malas sudah melihat gaya rambutnya. Alih-alih kagum akan tingkat ketampanannya, ia malah justru jijik melihat refleksi wajah Jonah.

Jika saja tidak untuk Amy. Ogah benar dia meniru penampilan Jonah yang mirip kriminal itu.

"Tadi siang kamu bilang nyonya besar menelpon. Apa yang dia katakan?"

"Dia tidak setuju dengan keputusan anda terkait pertunangan dengan Nyonya Amy."

"Karena Amy bukan dari kelas yang sama?" tebak Louis.

"Benar, Pak."

Seperti dugaannya. Erin pasti tidak akan setuju dengan kedatangan anggota baru yang tidak membawa keuntungan. Namun Louis tidak mungkin peduli. Itu tidak berhubungan dengan mereka, melainkan dirinya.

"Bagaimana dengan papa?"

Louis telah mengatakannya lewat telepon. Akan tetapi papanya masih belum memberikan jawaban. Seandainya itu berupa penolakan, dia pun tidak akan peduli. Ini adalah tentangnya. Jadi semua kendali berada di tangannya.

"Belum ada informasi dari tuan besar. Kata sekretarisnya tuan besar juga tengah bersiap melakukan perjalanan bisnis keluar kota."

"Sibuk ya?" gumam Louis setengah tertawa. "Apa itu cara halusnya mendukung perempuan itu?"

"Nona Nesarina sejak tadi pagi mengirim permintaan untuk bertemu dengan Bapak."

"Oh perempuan sok cantik itu. Apa yang dia mau?"

Tidak mungkin hanya pertemuan saja. Pasti ada hal lainya.

"Akan segera saya tanyakan, Pak."

Louis mengibaskan tangan. "Tidak perlu."

Itu hanya akan membuang waktunya. Lebih baik dia memikirkan strategi untuk membuat Amy jatuh hati.

***

Corbyn bertemu pandang dengan Amy di seberang. Tadinya dia berniat untuk duduk di bangku taman. Mendinginkan kepala dan hatinya dari segala permasalahan kuliah.

Amy melambai bersama senyum. Norak, pikir Corbyn. Akan tetapi dia membalas. Seperti kata Bumi, dia tidak perlu baik. Hanya saja dia perlu pura-pura demikian di situasi tertentu. Itu demi mendapatkan label baik dari orang lain. Tentu saja perlu. Itu hal utama yang dikejar-kejar oleh setiap manusia.

Usainya Amy duduk di kursi teras. Menonton video musik di ponselnya untuk merefresh otak.

Amar keluar dengan sekaleng kerupuk. Ia lalu mengetuk kepala Amy. "Udah malam woi. Sana tidur."

"Belum ngantuk."

Amar tersenyum mengejek. "Belum ngantuk atau nungguin Jonah nih?" ledeknya.

"Ngapain nungguin Jonah? Gak ada kerjaan banget."

"Halah gak usah bohong. Udah terbaca itu niat di wajah lo."

Amy mendengkus. "Sok tahu!"

Amar duduk di lengan kursi. Dia kemudian menyikut pelan lengan Amy. "Mending tanya sama itu bocah."

Between [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant