57. Surat Undangan

59 11 1
                                    

Surprise!

.
.
.

4 years later

Lonceng berbunyi tepat setelah pintu didorong dari luar. Ia mengedarkan pandangan. Ratusan tube cat berserakan di atas lantai. Beberapa warna tumpah ke lantai dan beradu dengan warna yang lain. Hening. Hanya suara AC yang terdengar mengisi.

"Amy!"

"Di sini!"

Ia mengikuti sumber teriakan dan menemukan Amy tengah menempelkannya plester ke pergelangan tangan.

"Astaga, lo kenapa?"

Barang bawaannya dipindahkan ke meja. Ia menarik tangan Amy dan memeriksa teliti.

"Cuma kegores paku tadi."

"Cuma lo bilang? Enggak, ini harus dibawa ke dokter."

Ia sudah berdiri, tapi tangan Amy tidak bergerak dalam genggamannya.

"Cuma kecil tahu."

"Tetap aja bisa infeksi. Ayo!"

"Enggak mau ah. Nanti dikira alay sama dokternya."

"Gue telepon dokternya sekarang."

"Davis!" pekik Amy.

"Tetap di sini, jangan kemana-mana."

Davis menjauh sedikit. Ia betul-betul memanggil dokter. Amy bersungut-sungut sambil membuka plastik. Ia menemukan satu cup ayam goreng, seloyang pizza dan minuman dingin. Davis memang yang terbaik untuk beberapa tahun belakangan ini.

"Dokternya akan datang sebentar lagi."

"Buang-buang duit aja."

"Gue yang bayar."

"Mending juga untuk beli ayam goreng."

"Itu udah ada ayam goreng."

"Mau lagi?"

"Cuma bercanda tahu." Amy meraup pinggir daging ayam. Ia mendapati kulit yang garing dan menggigitnya.

"Itu cat di luar kenapa pada berantakan?"

"Biasanya juga berantakan."

"Banyak yang tumpah. Lo sengaja buang atau apa?"

Amy menggoyangkan bahu. Baiklah, Davis tahu. Ada masalah yang tidak dapat diberitahukan kepadanya.

"Mau jalan-jalan?"

"Gue harus nyelesain lukisan."

"Yang kemarin? Udah dapat ide?"

"Belum sih. Lagian aneh banget tuh orang. Masa iya nyuruh ngelukis apa yang berharga untuk dia. Lah,  gue aja gak tau dia itu siapa." Amy mengakhiri kekesalan dengan gigitan terhadap tulang ayam.

"Uangnya udah masuk?"

"Udah sebagian. Emang gak enak kalau gak diselesain."

Siaran televisi kembali setelah iklan beberapa saat yang lalu. Tampil  sosok tidak ekspresif di belakang layar pembawa berita. Kacamata hitam menempel di hidung si objek.

Kabar terbaru hari ini. Penerus Alexander Corp, Jonah Pradava Alexander merampungkan S2-nya di Universitas Oxford setelah rumor dirinya akan mengambil alih perusahaan. Sang ayah, Tuan Alexander membagikan kabar baik pada sesi wawancara.

"Putra saya tidak akan meneruskan Alexander Corp, tapi kabar baiknya perusahaan rintisannya mengalahkan perusahaan saya tahun ini."

Sementara itu, Jonah Pradava dalam sesi wawancara turut mengatakan kebahagiannya. "Tidak ada yang perlu dicemaskan. Alexander Corp jatuh pada tangan yang tepat. Bumi Pratama Azelix  terlalu kaya untuk menggerogoti harta Alexander. Itu hal yang pasti."

Kemudian terkait hubungannya dengan Cara Jhonson, Jonah Pradava mengatakan bahwa...

Amy mematikan televisi. Jantungnya berdegup kencang di antara rusuknya.

Pantes enggak muncul-muncul. Ternyata udah punya pengganti.

"Amy, are you oke?"

Amy menyunggingkan senyum. "Ya."

"Tentang berita terakhir..."

"Gue mau jalan-jalan sebentar," interupsi Amy.

***

Terlalu dini bagi Amy untuk pulang. Ia biasanya pulang dari studio sekitar pukul sepuluh malam. Itu pun terasa begitu berat, karena ide-ide masih berseliweran. Masalahnya kali ini ia tidak memiliki ide apapun. Tetap saja beranjak bukan pilihan.

Lonceng berbunyi. Tidak mungkin Davis lagi. Amy menjawab sopan, tapi tampak jengkel sekaligus tidak beranjak dari bantalan tangannya.

"Orenji house. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mau mengambil pesanan saya."

Amy bangun dari meja. Keterkejutannya bertambah menjadi dua kali lipat.

"Long time no see, Amy." Louis tersenyum.

***

Mereka mengobrol banyak hal. Diawali dengan perihal kabar, meluruskan kesalahpahaman hingga saling memaafkan. Sebagai penutup, rencana ke depan turut dipaparkan.

Louis tidak akan memiliki pasangan, apalagi menikah terkait penyakitnya. Namun ia bersumpah tidak akan memaksa Amy lagi. Katanya ia ingin Amy bahagia.

Amy tidak akan langsung percaya, tapi ia mendapati sebagian kebahagiaan darinya. Pendapatnya mulai dihargai.

Amar berkunjung hampir tengah malam. Ia cemas betul sebab sang kakak belum kembali.

"Gue kira lembur, ternyata malah nyantai."

Amy memindahkan perhatian dari layar laptop. "Gue malas pulang tahu."

"Mau digendong, nih?"

"Pokoknya gue gak mau gerak."

"Ngadi-ngadi lo emang."

Amar menjatuhkan amplop hitam ke meja dan meneruskan langkah ke pantry. "Tuh dari mantan lo."

"Mantan?"

Amy menarik penutup amplop. Nama Jonah terukir dengan font latin berhiaskan glitter di atasnya. Sedikit ke bawah, nama lain terukir.

"Jojo mau nikah?"

"Hmm." Amar berdehem sementara air masih berkumpul dalam mulutnya.

"Btw, ceweknya yang jadi Miss Universe tahun ini." Amar menatap Amy. "Lo pasti pernah lihat."

"Cara Jhonson?"

"Nah itu. So, mau datang?" Amar tidak meledek. Ia justru menatap prihatin sang kakak.

"Kapan acaranya?" Amy bahkan tidak mampu membaca isi lain dari surat undangan tersebut.

"Besok malam."

Amy pulang dalam perasaan gamang malam itu. Nomor Jonah yang telah ia blokir, ia buka kembali. Tidak ada pesan. Benar-benar kosong. Jonah sudah melupakannya.

Amy mencampak ponsel. Matanya melotot pada langit-langit kamar. Semakin lama semakin panas dan akhirnya ia merasakan air hangat meleleh dari matanya. Oh, gini rasanya kehilangan seseorang.


***

okei sekian
Tap vote dipersilahkan
Btw, kaget engga nih?
Emg niat nge-prank kemarin haha

Adios!

Between [END]Where stories live. Discover now