24. Baka!

40 13 8
                                    

Amy menggeser gorden biru muda itu. Tersisalah vitrase putih. Jaring-jaring dengan motif bunganya membuat dia melihat jelas kediaman Jonah. Aston martin putih milik Pasha terparkir di halaman. Namun orang-orang di dalam sana belum kunjung keluar. Barangkali benar. Malam ini Jonah akan berangkat bersama Karina.

Seharusnya Amy tidak perlu heran. Karina adalah perempuan sempurna dalam hal penampilan. Ibarat ikan dia mungkin adalah jenis koi yang menggemaskan. Jonah selaku kucing tidak mungkin hanya memandangnya saja.

Ada rasa cemas dari ingatan lama yang tertinggal di kepala Amy. Jonah bukan tipe kucing yang suka bermain-main, dia tipe kucing yang bergerak dengan tujuan. Itu berarti ada kemungkinan besar Karina sekarang menjadi targetnya. Sesudah itu hanya menunggu waktu saja bagi Amy untuk benar-benar ditendang dari hati Jonah. Dia pun akan kehilangan segala perhatian.

"Udah balikan sana."

Amar menggulung kemejanya sebatas siku. Melakukan yang sama pada lengan lainya. "Atau perlu gue yang sampaikan nih?"

"Siapa yang mau balikan?"

Amy berbalik. Meluapkan kekesalannya begitu memandang Amar. Semakin hari semakin rajin saja mengurusi percintaannya. Awalnya dapat dia toleransi sebagai bentuk perhatian, tapi karena semakin sering Amy jadi curiga bahwa Amar bekerjasama dengan Jonah.

"Siapa-siapa? Noh getok kepala lo pakai batu biar luber. Semua orang pun tahu kalau lo masih suka sama itu bocah. Otak lo yang terlampau keras. Jangan-jangan malah hati lo juga. Heran, lo masuk ke dalam kulkas atau gimana?"

Amar menarik knop pintu. Wajahnya tertekuk sudah akibat kesal.  "Gue mau hedon nih. Lo mau apa?"

"Dih sok banyak uang!"

"Memang banyak." Amar berbalik. Bersandar pada daun pintu. "Buruan, mumpung gue belum berubah pikiran."

"Ayam goreng."

"Makanan melulu. Perhatikan tuh muka lo. Kucel kayak bungkus gorengan. Udah skincare aja ya."

Bibirnya tertekuk. Tahu begitu dia tidak mau menjawab. Begini malah bikin sakit hati saja.

"Gak usah sok ngambek. Makin jelek itu muka lo. Udah ya, gue berangkat."

Matanya melirik saja pada Amar yang melangkah keluar. Terpikir kemudian olehnya bahwa itu adalah cara bagus untuk melihat pergerakan Jonah tanpa harus terlihat kepo.

Amy berdiri. Menyeret pelan kakinya keluar pintu. "Hati-hati."

Helm yang hampir masuk ke kepalanya itu tertahan di udara. "Tumben lo peduli."

"Lagi pengen aja."

Mengabaikan kecurigaan Amar, Amy duduk di kursi. Dia masih memperhatikan Amar. Namun begitu adiknya tidak memperhatikan, dia meluruskan pandangan ke halaman rumah Jonah. Pintu utama masih tertutup rapat. Amy mengecek ponselnya. Sudah jam delapan lewat. Belum waktu tepat untuk masuk ke dalam bar, tapi manusia-manusia itu bisa saja sangat antusias.

Mesin motor menyala. Amar menoleh pada kakaknya. Kentara benar raut penasaran dan cemas tersebut. Dia menjadi kesal sendiri sebab tidak ada tindakan benar yang diambil. Tapi setelah dipikir-pikir itu adalah hak kakaknya. Jadilah dia berhenti untuk ikut campur.

"Udah masuk sana. Jangan bikin anak orang menaruh harapan dengan tindakan plin-plan lo."

Alih-alih menurut Amy malah menyerang kesal tatapan Amar yang juga berisikan hal sama.

"Gue bilang masuk, masuk!"

Suara Amar meninggi. Kendati dia lebih muda darinya, Amy tetap merasa kalah oleh aura dominannya.

Between [END]Where stories live. Discover now