23. Dipancing

50 13 0
                                    

Amy berguling di kasurnya. Bosan melanda. Salahkan Louis yang membawanya ke kantornya, tapi tidak untuk melakukan apa-apa. Buang-buang waktu saja. Padahal tadi katanya mereka mau survei lokasi dan segala persiapan lain yang berhubungan dengan acara pertunangan.

Sempat tadi Amy meminta izin untuk bermain di kolam renang atau menikmati minuman di coffee bar. Namun Louis menolak. Katanya takut Amy kabur diam-diam. Memang benar itu tersemat di kepala Amy akibat kebosanan, tapi Amy bukanlah manusia pemberani. Jadi itu tidak akan mungkin terjadi. Di sini jelaslah Louis yang terlampau cemas.

Panggilan dari Bulan masuk ke ponselnya. Hal jarang seperti ini menimbulkan tanda tanya dalam kepala Amy. Namun hubungannya dan Jonah yang telah retak tampak memungkinkan menjadi penyebab.

"Ada apa, Lan?"

"Tanya kabar gue dulu kali, Am."

Amy pun tercengir lebar. Merasa sedikit malu, tapi juga tidak mau memikirkan lebih jauh. Lagipula Bulan bukan sekadar adik dari laki-laki yang dia sukai, tapi juga sahabatnya sendiri. Dia tidak perlu merasa tertekan. Bicara santai saja seperti yang sebelum-sebelumnya.

"Mentang-mentang putus sama Jonah sekarang lo gak peduli lagi sama gue."

"Bukan begitu, Lan."

Amy masih berusaha peduli. Dia memberi semangat pada setiap postingan Bulan yang berisi kegiatan padatnya akan perkuliahan. Namun memang benar. Dia tidak pernah lebih dulu memulai.

Hubungan sahabat di antara mereka mengendur semenjak Amy menjadi pacar Jonah. Dia merasa perlu memperlakukan Bulan dengan hormat dan benar. Bulan adalah orang berharga bagi Jonah, jadi sudah seharusnya bagi Amy untuk menganggapnya lebih dari sahabat.

"Udah gak usah dipikirin. Gimana? Gue denger-denger lo mau tunangan."

"I-iya." Amy merutuki kegugupannya. Bisa-bisanya dia demikian padahal seharusnya terdengar meyakinkan. Begini dia seolah mempermalukan diri sendiri.

"Ada masalah apa sama Jonah?"

Begitulah Bulan. Dia langsung pada poin yang ada. Suaranya pun tidak ada simpati, dia bertanya dengan tegas. Terkadang Amy mengira itu bentuk ketidaksukaan Bulan padanya. Maklum saja dia memiliki hati yang sedikit sensitif.

"Gak ada, Lan."

"Jadi, kenapa pisah? Lo gak suka lagi sama Jonah?"

Bibirnya mau bilang iya, tapi wajah Jonah menari-nari di benaknya. Pria itu tidak memiliki kekurangan kecuali sikap pemaksanya. Sisanya dia adalah berlian yang harus dimiliki. Tampan, perhatian dan tahu caranya menjaga komitmen. Sebenarnya Jonah lebih memiliki banyak alasan untuk diterima daripada ditolak.

"Gue bertanya sebagai sahabat lo. Santai aja."

Amy membaringkan tubuh. Mengisi sesaat paru-parunya dengan udara baru dan membuang residunya keluar secara perlahan.

"Lo tahu sendiri bagaimana gue dan Jonah memulai hubungan. Itu cuma karena pemaksaan, Lan."

"Pemaksaan?" sela Bulan. "Yang benar aja? Lo menerima dia loh. Itu sama-sama mau namanya."

"Gue penakut, Lan! Abang lo itu sendiri diktator. Kalau udah memberi perintah matanya melotot dan merah seperti penjahat. Dia juga selalu punya ancaman untuk mengintimidasi gue."

"Terserah lo deh mau bohong atau enggak sama gue. Tapi jangan begitu sama diri lo sendiri."

"Gue gak bohong."

Amy meringis. Dia menjawab secepat yang dia bisa. Alhasil dia memikirkan kalimat Jonah semalam. Apa benar dia menjawab dengan memikirkan? Rasanya tidak.

Between [END]Where stories live. Discover now