56. Perpisahan

57 11 12
                                    

Secangkir teh turun ke meja. Uapnya naik bersama aroma melati.

"Cuma teh melati yang ada di dapur."

Amar menarik kursi, duduk dan membenahi rambutnya yang kusam. Wajahnya pun sama, apalagi kaosnya. Ia terlalu banyak bolos, hanya di rumah dan sesekali ke rumah sakit. Penampilan tidak lagi menjadi prioritasnya.

"Gue gak punya banyak waktu." Amar memperingati.

"Bagaimana keadaan Kakak kamu?"

"Too bad."

"Dia tidak ada di sini?"

Amar menyentak punggung. Gerakannya menimbulkan keributan pada kursi. 

"Amy di mana?" Louis mengulang pertanyaan dalam bentuk berbeda.

"Ke rumah sakit."

"Apa lukanya belum sembuh?"

"Kak Amy ke psikolog. Udah deh, jangan ganggu. Balik sana dan urus perusahaan lo."

Mendadak Amar berubah pikiran. Menerima kehadiran Louis justru membuatnya cemas akan keadaan Amy ke depannya.

"Saya pikir kamu tidak ingin saya berlama-lamaan di sini. Jadi, silahkan katakan bagaimana keadaan Amy sekarang."

Amar memulai melalui pemaparan bahwa semenjak kecelakaan Amy lebih sering tertidur, menangis dan menyendiri. Ia tidak berbicara dan tidak juga bergerak apabila tidak perlu. Dokter akhirnya resmi memvonis bahwa Amy mengalami depresi. Kesedihan dan pikiran yang berlebihan. Masalah yang dikira kecil menurut semua orang nyatanya ditanggapi berbeda oleh pikiran Amy. 

Amar sekeluarga mengambil keputusan pindah ke tempat baru. Tempat di mana Amy tidak akan bertemu dengan sumber-sumber masalah eksternalnya, yakni Jonah dan Louis.

"Pastikan Jonah tidak tahu keberadaan Amy."

Amar mengatakannya ketika Louis hendak meninggalkan pintu. Pria itu mengangguk kecil tanda iya, lalu menghilang di bawah rintik hujan. Mobilnya diparkir di seberang jalan. Amar dapat melihat asisten Louis datang tergopoh dalam kekhwatiran.


***

"Gue mau jalan-jalan sebentar."

Amar menarik tangannya dari piring. Beberapa bulir nasi terjatuh. "Biar gue temenin."

"Gue bisa sendiri." Amy memasukkan kedua tangannya yang kurus ke dalam lengan jaket.

"Enggak, ini udah malam." Amar mengecek saku jeansnya. Ia celingukan sebentar, lalu sadar. "Sebentar, gue ambil dompet dulu di atas."

Amy langsung menyelinap keluar begitu Amar hilang. Ia menjejali tangan ke dalam saku jaket. Angin menari-nari kencang. Dedaunan kering terbang dan terpijak oleh sepatunya.

Di seberang jalan beberapa orang berhenti untuk menyebrang. Salah satunya bergerak duluan sehingga klakson bersahut-sahutan disertai umpatan.

"AMY!"

Sepatunya menekan kuat pada aspal. Rasa dingin membungkus punggungnya, meski ia sudah menggunakan jaket.

"Harus kayak gini ya?" Nafas Jonah tersengal. Di bawah cahaya kuning lampu jalan, sepasang mata Jonah berkilat kecewa. Amy sesak melihatnya.

"Pergi tanpa ngasih tahu gue apa-apa. Emang norak, tapi gara-gara itu gue stress tiap hari."

"Jojo ngapain di sini?" Amy berusaha tetap tenang, tapi suaranya sudah bergetar.

Between [END]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora