Pantone 186c

701 39 3
                                    

[Mahesa]

Merah warna sulung di deret pelangi. Warna cinta, warna darah, dua alasan hidup manusia. Warna perban luka yang Rana, kekasihku, punya di pipi kiri, terpasang jauh dari kata rapi. Tempel asal sana sini. Anehnya, senyumannya tak pernah pergi.

"Hai," sapanya. Secerah mentari.

"Hai, sini duduk." Aku baru ingin menghampiri, saat ruang praktikku terbuka.

Jas putihku tak jadi kupakai. Aku tahu, Rana kesini bukan untuk minta diobati. Obat dan segala macamnya adalah musuh yang paling ia benci.

"Kenapa ini berdarah?" tanyaku setelah duduk di ranjang pasien yang sudah ia akuisisi. Tirai pemisah antar ranjang IGD sudah kututup. Sedikit privasi yang bisa kuberikan di tempat yang sebenarnya tidak ideal untuk bertukar kata.

Rambut panjangnya dikuncir kuda hari ini. Berantakan, beberapa helai berontak melarikan diri dari ikatan. Tapi tak mengurangi kecantikannya saat dipandang.

"Papa minta uang lagi. Aku gak kasih. Enak aja, aku susah-susah kerja sambil kuliah, masa mau diambil sama dia," Rana mengadu.

Saat ia bicara, tidak ada sedikitpun terlihat raut marah. Rana menceritakannya mengalir seperti angin yang terarah. Seakan ia sudah berdamai dengan keadaan yang sebenarnya cukup parah.

"Uang yang kamu cerita buat bayar biaya skripsi?"

Rana mengangguk, setelahnya meringis sambil memegang kepala. Aku hampir lompat untuk panggil perawat agar ia dibawa dan diperiksa dengan tepat. Tapi aku ingat, persetujuan dan kenyamanannya harus ditempatkan di posisi terdepan. Ada batasan yang harus selalu diprioritaskan.

"Pusing? Mau obat?" Aku putuskan untuk bertanya.

"Gak apa-apa, Mahesa. Nanti sembuh sendiri," katanya, lalu berdiri.

Selalu seperti ini. Kunjungan Rana di pembuka jadwal jaga ku sesingkat umur embun pagi. Namun sungguh berarti. Menandakan kalau kesayanganku hari ini masih kuat dan tak terkalahkan oleh pahitnya kehidupan. Membuktikan kalau ia hari ini masih ada dan bendera putih masih dirinya tolak untuk mengibarkan.

Rana peluk aku dengan dua tangan kurus yang melingkar sempurna di pinggangku. Pelukan hangat yang ia klaim sebagai pengisi daya sebelum menjalani hari yang lelahnya luar biasa.

Dengan dua mata yang agak basah, Rana  tatap aku berjarak beberapa senti di bawah.

Perbedaan tinggi kami yang selalu aku sukai.

"Aku mau minta gantiin perbannya, boleh? Ini asal tempel aja sama yang ada di rumah."

Akhirnya. Akhirnya aku mendengar pintanya akan hal ini.

"Pasti, pasti boleh, Rana."

Ia tersenyum. Bukit pipinya naik tinggi, menandakan kalau senyum kali ini adalah senyum dengan kadar bahagia yang pekat. Perban yang setengahnya berwarna merah ikut terangkat.

Aku harap suatu hari nanti, Rana kekasihku akan datang tanpa luka barang satu senti.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang