Pantone 18-1664 TCX

86 6 0
                                    

[Mahesa]

Waktu terasa berjalan dengan kecepatan berpuluh-puluh kali lipat lebih cepat dari biasanya, namun seakan berhenti di detik yang sama, di saat yang bersamaan. Semua terjadi dengan sangat cepat, namun juga sangat lambat. Tidak masuk akal, namun itu satu-satunya cara untuk mendeskripsikan segala yang terjadi di rentang waktu yang sangat singkat namun juga sangat panjang ini.

Rasanya baru beberapa saat yang lalu, aku akhirnya melihat Rana dalam bentuk utuh di depanku. Rasanya baru beberapa saat yang lalu, aku dengan bodohnya membiarkan Rana berjalan sendirian ke neraka yang selama ini menjadi tujuannya untuk pulang. Rasanya baru beberapa saat yang lalu, aku terdiam di dalam mobil, merutuki semua keputusan dungu yang aku ambil tanpa pikir panjang dan membiarkan Rana kembali hilang dari pandangan.

Namun di detik ini, saat ini, aku bisa rasakan seluruh ragaku bergerak tidak karuan. Bergerak tanpa perlu aku perintah. Balutan rasa panik yang luar biasa seperti menyelimuti tubuhku dengan ketebalan luar biasa. Sepanjang perjalanan ke rumah Rana, telingaku berdengungㅡkepanikan dan dengungan dari sirine ambulans juga polisi yang membersamai. Jika tulang rusukku bisa bicara, mungkin mereka sudah mencaci-maki jantungku yang berdetak tidak karuan memukul-mukul rongga dada dengan gila.

Yang aku inginkan, hanya sampai secepatnya.

Waktu lima menit yang kedengarannya sangat singkat terasa seperti selamanya saat manusia gundah luar biasa. Ini, yang tadi aku ceritakan. Bagaimana segalanya terasa cepat, namun juga lama di saat yang bersamaan.

Beberapa orang berdiri di depan rumah Rana. Raut wajahnya penuh gurat khawatir, namun ada keraguan disana. Dengan lari secepat yang aku bisa, aku mendekat. Paham betul apa yang membuat hampir sepuluh orang disana memunculkan raut yang sama.

Suara teriakan dan tangisan dari dalam rumah terdengar menggema.

Yang aku lihatㅡmerah.

Betul memang, merah warna cinta. Warna dari kelopak mawar untuk ungkapkan romansa pada seseorang yang dipuja. Warna yang romantis, juga puitis.

Namun kali ini, merahku adalah amarah. Semuanya terjadi dalam sekejap mata. Seakan memakai kaca mata kuda, aku tidak sadar dengan kanan kiri atau belakang. Secepat yang aku bisa aku masuk ke dalam rumah. Yang aku ingat, polisi mendahului.

Suara tangis makin kencang terdengar saat aku pijakkan kaki di dalam.

"Siapa yang ngajarin kamu kurang ajar sama Bapak?!?! Makanya jadi anak laki-laki jangan kebanyakan manja sama Kakak kamu. Sama aja kamu jadi anak gak berguna sekarang, malah kurang ajar!"

"BAPAK JAHAT!!!!"

"DIAM KAMU!!"

Semua kepala menoleh ke kamar Rana, asal pekikan suara Mario terdengar. Seluruh rambut di tengkukku meremang.

Akan kupatahkan leher manusia biadab itu dengan kedua tanganku sendiri.

Pekikan lain terdengar dan di detik itu juga, polisi menembakkan senapannya ke langit-langit rumah.

"Angkat tangan!"

Hampir sampai bogem mentahku ke wajah iblis yang berdiri di depan pintu itu, saat netraku menangkap warna merah lainnya.

Merah yang mengalir dari lengan atas Rana. Warna merah yang merembes dari sela-sela jemari Mario yang memegangi lengan Kakak satu-satunya.

Merah darah.

BUGH!

Dua kali lipat tenagaku meninju manusia biadab di depanku ini. Tanpa peduli dengan apapun yang akan dilakukan polisi kepadanya, aku masuk ke kamar Rana. Berlutut di hadapannya. Mengambil Rana ke dalam dekapanku selembut yang kubisa.

Seiring dengan mata Rana yang hampir tertutup sempurna, nafasku seakan ditarik secara paksa.

"Rana? Rana hey jangan tidur, sayang. Jangan tutup mata kamu."

Bukan hanya merah darah di lengan, tapi bekas biru pudar di lehernya, luka memar di wajah juga jejak air mata yang belum kering.

Aku tersedak menahan tangis. Seakan dihantam berkali-kali tepat di ulu hati melihat Rana seperti ini.

"Kurang ajar kamu! Ngapain kamu kesini hah? Tsk, apa lagi ini polisi? Ngapain kalian? Lepasin saya! Jangan ikut campur!" Manusia biadab itu berontak.

Peduli setan.

Aku angkat Rana melewatinya yang masih berontak saat kedua tangannya diikat dalam gelang besi.

"Mario jangan ikut dia! Mario, kamu jangan kurang ajar juga kayak kakakmu!!"

"Bapak jahat! Pak polisi, Bapak dimasukkin ke penjara aja! Aku benci Bapak!"

"HEH ANAK KURANG AJAR!!"

"Urusan Bapak dengan kami. Silahkan jelaskan semuanya di kantor polisi nanti." Ucapan dari polisi di sana adalah hal terakhir yang kudengar, sebelum aku bawa Rana keluar kamar.

Para medis sudah menunggu di depan pintu. Rana tak kubiarkan lepas dari gendonganku walau ada tandu di tangan mereka.

"Astaghfirullah, Neng Rana." Seorang laki-laki yang berdiri di halaman mengikuti langkahku menuju ambulans. "Ya Allah, kok bisa sampai begini? Maaf, Masnya siapa, ya? Saya Pak RT di lingkungan ini."

"Saya kekasihnya Rana. Nanti saya jelaskan, Pak. Saya harus bawa Rana ke rumah sakit dulu. Permisi."

Setelah mengangkat Mario untuk ikut duduk di dalam ambulans, pintu ambulans ditutup rapat.

Kali ini, aku harap waktu bisa berjalan secepat kilat.

Agar...Rana selamat.

~

a.n

dikit lagi warna warni tamat AAAAAAAAAA. terima kasih untuk 3k readsnya huhuhu ga nyangka cerita ini bisa nembus ribuan kali dibaca karna aku ga promosi kemanapun. semoga kalian suka dan maaf karena updatenya agak lama. kemarin aku gak ada waktu :") kita ketemu lagi jumat/sabtu kalau semuanya lancar!!

aku sayang<3

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang