Pantone 2915c

131 16 0
                                    

[Rana]

"Rana! Hai!"

Langkahku yang sedang berjalan menuju pintu masuk rumah sakit terhenti. Tiana memanggilku sambil melambaikan tangannya dari ujung belokan tidak jauh dari gerbang. Langkahnya ringan. Rambut pendeknya yang berbanding terbalik dengan rambut sepunggungku, tertiup angin. Singkatnya, Tiana cantik.

Lagit hari ini juga tak kalah cantiknya. Dengan warna dasar biru muda, dan awan serupa kapas menghiasi disini dan sana. Angin bertiup dengan lembut, tidak buat rambut kusut. Matahari bersinar dengan ramah, tidak terik, namun cukup hangat.

Tiana berlari kecil ke arahku. Agak gugup sebenarnya untuk berinteraksi dengan Tiana. Aku bukan perempuan dengan banyak teman. Keseharianku sebagian besar aku habiskan di parlor, bersama Mahesa, atau menemani Mario. Berteman adalah hal mewah untukku. Ngobrol cantik di cafe atau habiskan akhir pekan di bioskop tidak pernah masuk di daftar kegiatan prioritas yang aku miliki. Kalau sudah begitu, siapa juga yang mau berteman denganku, iya kan?

"Mau ketemu Mahesa, kan?" tanya Tiana dengan ramah.

Sudah lama sebenarnya aku tahu kalau sahabat yang selalu Mahesa ceritakan (Keanu, Farhan, dan Tiana) bekerja di rumah sakit yang sama dengannya. Tapi, aku selalu menolak untuk bertemu mereka. Malu. Aku sudah bilang kan, kalau pertemanan adalah hal yang terlalu mahal untukku? Karena itu, aku jadi tidak pernah bergemu dengan mereka bertiga. Tapi, sejak makan bersama waktu itu, wajah mereka jadi lebih mudah aku lihat di rumah sakit. Karena sudah bertemu, jadi lebih mudah untuk aku kenali, sepertinya.

"Iya. Mahesa ada, kan?"

"Ada. Lagi praktik sih, dia kalo gak salah. Eh, kamu mah pasti udah tau jadwal dia, kan."

Aku mengangguk. Berjalan beriringan dengan Tiana rasanya agak aneh. Dia dengan jas putihnya yang cerah, dan aku dengan kemeja krem ku yang....biasa saja. Agak kusut di bagian lengan karena berdesakkan di bus tadi, malah.

"Iya. Makanya aku kesini, bawa makanan juga," ucapku, coba cari topik pembicaraan.

"Kamu masak? Keren." Tiana melongok ke dalam tote bag yang aku jinjing.

"Masak sebisanya aja, tadi sekalian buat di rumah dan buat bekal aku juga."

"Pasti orang rumah pada suka sama masakan kamu, ya? Seneng banget kalau ada yang masakin masakan runah setiap hari. Aku bisa nya masak mie instan aja. Paling banter ceplok telor," Tiana bercerita. "Eh, TMI banget, ya."

Suka masakanku? Kalau Mario, iya. Orang paling berharga dalam hidupku, yang tidak pernah sekalipun tidak menghabiskan makanan di piringnya. Tidak pernah absen memujiku diiringi dua acungan jempol juga kata terima kasih.

Kalau Bapak...entahlah. Kadang ia habiskan makanan buatanku. Kalau perasaan hatinya sedang buruk, ia lempar hingga piringnya pecah berantakan.

Tapi, Tiana tidak perlu tahu bagian yang terakhir itu.

"Iya, adik aku doyan banget masakanku. Kamu mau? Kapan-kapan aku bawain juga."

"Beneran? Gak ngerepotin?"

"Aku buatin kalau aku lagi gak repot."

Tiana tersenyum lebar. Mengingatkan aku pada senyuman Mario saat aku bawakan mainan mobil excavator saat ulang tahunnya yang ketujuh. Cerah, bahagia.

"Boleh! Makasih banyak, ya."

Aku balas senyuman Tiana sama tulusnya. Tak lama kemudian, kami sampai di lorong utama. Tiana pamit untuk belok ke arah berlawanan karena keperluan praktiknya. Aku melanjutkan perjalanan, dengan tenang tapi agak gugup juga di dalam.

Sesuatu dalam diri Tiana buat aku merasa kerdil saat berada di dekatnya. Tapi, di sisi lain, perbincangan tadi tidak terasa too much. Mungkin suatu hari aku bisa berteman dengannya.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now