Pantone 18-1655

92 7 0
                                    

[Rana]

Betul. Sosoknya tidak asing. Seperti, angin dingin di awal September yang menyapamu di tengah jalan sore, membawa pesan bahwa musim basah penuh hujan hampir sampai. Kamu sudah kenal, namun, tidak begitu akrab.

"Tanteㅡ" ucapku, menggantung. Tidak ada cukup memori dalam kepalaku untuk mengingat siapa nama sosok wanita anggun yang berdiri di depanku saat ini.

"Naomi," jawabnya lembut. Senyum tipis terpatri di wajahnya yang masih rupawan, walau ditemani satu-dua tipis kerutan.

"Ah, iya. Maaf Tante, saya lupa."

"Gak apa-apa, bukan masalah. Saya mau pesan mango splash, bisa? Ice cream nya vanilla."

"Dine in atau take away?"

"Dine in."

"Satu mango splash with vanilla ice cream. Ada tambahan lagi?"

"Oh, boleh. Satu slice kue apapun yang kamu mau. Saya baca, di depan pintu ada tulisan kalau hari ini hari ulang tahun kamu. Selamat ulang tahun ya, Rana."

Jemariku berhenti menekan layar monitor kasir dan menatap Tante Naomi dengan canggung dan sedikit terkejut.

"Eh, jangan Tante. Gak usah, gak apa-apa. Saya udah dapet kue dari teman-teman tadi."

"No, saya tetap mau pesan kue itu untuk kamu. Atau kalau mau ganti jadi ice cream juga boleh. Apa aja, masukkin harganya ke pesanan saya. Mala waktu itu senang sekali jajan disini, Kakak kasirnya ramah. Saya cuma mau berterima kasih karena kamu udah meladeni celotehan Mala waktu itu."

Aku tersenyum canggung. Bingung, rasanya. Dua kata: canggung, dan bingung, yang sudah kalian dengar sejak tadi. Kuulang sekali lagi, karena aku benar-benar merasa canggung dan bingung. Tidak tahu harus merespon afeksi dari Tante Naomi dengan cara apa.

"Eeㅡeehhmm, kalau begitu, saya masukkan satu slice tiramisu ice cream cake aja ya, Tante?"

Tante Naomi tertawa kecil.

"Apapun, Rana. Terserah kamu."

Aku menggaruk ujung hidungku yang sebenarnya tidak gatal.

"Mala anak tunggal, dia selalu ingin punya adik. Tapi setelah ketemu kamu saat itu, dia jadi ingin punya Kakak perempuan. Gak berhenti dia membicarakan tentang kamu selama perjalanan pulang, di hari itu. Kebetulan hari ini saya lewat, jadi saya putuskan untuk mampir. Kebetulan lagi, hari ini kamu ulang tahun. Nanti saya ceritakan ke Mala."

Ingatan tentang Mario tiba-tiba saja terputar dalam kepalaku. Aku sudah punya satu adik yang sangat kucinta, rasanya dunia akan sangat sepi dan hambar tanpa Mario di dalamnya. Sedikit banyak, aku bisa paham mengapa Mala merasa sepi sebagai anak satu-satunya.

Pesanan berakhir saat aku berikan kertas struk kepada Tante Naomi setelah pembayaran. Kuucapkan terima kasih sekali lagi, sebelum Tante Naomi pergi untuk duduk di salah satu kursi. Aku mulai mengurus pesanan Tante Naomi, dan memisahkan satu potong kue tiramisu untuk kubawa pulang nanti. Mario pasti suka.

Bunyi bel pintu parlor mengambil alih perhatianku. Mulutku sudah membuka untuk mengucapkan selamat datang kepada pengunjung yang masuk, namun semua kata-kata terhenti di pangkal tenggorokan setelah kulihat siapa yang tersenyum lebar di pintu parlor.

"Kakak," panggil Mario, sambil melambaikan tangannya dari samping pintu.

Ia tahu, kalau tidak baik mengganggu orang saat bekerja. Aku juga sudah pernah bercerita sedikit banyak padanya mengenai bagaimana pekerjaan yang kulakukan, apa yang boleh dan apa yang dilarang, dan sebagainya. Sepertinya, Mario ingat semua.

Aku selesaikan pesanan Tante Naomi, lalu kuantar ke mejanya. Setelah bertukar kata secara singkat (formalitas sebagai pelayan dan pelanggan), kuhampiri Mario. Aku berlutut di depan adik kesayanganku.

"Hey. Kok kesini? Naik apa?"

"Naik mobil Papanya Fero. Dia sama Papanya ke Mall yang di ujung sana itu, Kak. Aku ingat, Mall nya dekat sama toko ini, jadi aku minta ikut."

"Kok gak tanya Kakak dulu? Papanya Fero gak apa-apa kamu ikut tadi?" tanyaku. Ku rapikan poni Mario yang berantakan karena tertiup angin di luar sana.

"Iya, gak apa-apa. Malah tadi sebenarnya aku diajak ke Mall, tapi aku gak mau. Aku kan gak ada uang. Nanti kalau mau beli makanan, pasti Fero yang beliin. Gak baik kan, Kak? Jadi aku kesini aja. Tadi aku telfon pakai telfon sekolah, tapi Kakak gak angkat."

Mario bercerita panjang lebar. Satu rangkuman yang penuh dengan kepintaran dan kecerdasan adikku. Gemas sekali. Aku kecup dahi Mario dengan sayang.

"Nanti kamu jadi harus nunggu sampai shift Kakak selesai. Gak apa-apa?"

Mario mengangguk yakin. "Aku mau disini aja, dari pada di rumah berdua Bapak. Boleh? Aku ganggu kerja Kakak, ya?"

"Nggak, kok. Mario nanti boleh tungguin di ruang loker. Mau?"

"Mau! Nanti aku kerjain PR aja. Ada dua PRnya, tapi aku bisa!"

"Hebaattt."

Aku gandeng tangan Mario melewati meja kasir. Satu potong kue tiramisu yang sudah kupisahkan tadi, kuambil.

"Ada kue buat Mario."

"Buat aku? Yeay! Terima kasih, Kak."

"Sama-sama," jawabku sambil tertawa.

"Rana? Saya boleh foto kamu sambil pegang kue, satu kali? Mala pasti senang kalau saya tunjukkan fotonya nanti. Kalau kamu gak keberatan, ya."

"Oh, iya, boleh Tante."

Tante Naomi tersenyum. "Adik kamu juga boleh ikut."

Mario menatapku dengan ragu.

"Yuk, foto sama Kakak."

Masih sambil tersenyum, Tante Naomi mengabadikan fotoku dan Mario, juga sepotong kue tiramisu dengan ponsel merahnya.

~

a.n

sepertinya aku akan update lagi senin nanti. lagi banyak yang cari perhatian (read: banyak kerjaan) di dunia nyata huhuhuhu. sampai ketemu lagi!!

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now