Pantone 164C

116 9 0
                                    

[Mahesa]

Jadwal jaga ku baru akan dimulai sekitar satu jam lagi, tapi sekarang aku sudah menginjakkan kaki di rumah sakit.

Setelah mengantar Mama kembali ke apartemen, aku putuskan untuk langsung berangkat lagi. Tidak mau buat Mama curiga melijat anaknya yang berleha-leha di rumah, padahal salah satu alasan yang Rana gunakan sebagai dalih agar ia tidak diantar sampai rumah adalah jam praktikku.

Ah, bicara tentang Rana. Sampai saat ini ia belum mengabariku juga. Tidak ada pesan ataupun panggilan masuk dari kekasihku itu, yang menandakan kalau ia sudah sampai di rumahnya.


Rana?

Udah sampai?


Dua pesan yang aku kirimkan juga hanya centang dua, berwarna abu-abu. Rana belum membacanya.

Semoga saja tidak terjadi apa-apa.

Aku turun dari mobil setelah selesai memeriksa semua notifikasi yang ada di ponselku, dengan dada penuh berisi harap agar ada pesan dari Rana yang masuk di menit berikutnya.

Belum sempat aku melangkah menjauh, jaketku tertarik ke belakang. Insting bawah sadarku sudah memerintahkan tubuhku untuk siap mengeluarkan posisi bela diri yang aku pelajari sejak usia dini. Tapi yang aku lihat, justru jauh dari hal itu.

Seperti disiram air es di tengah terik siang hari saat yang kedua mataku tangkap adalah Rana yang berdiri di belakangku dengan kondisi yang berantakan.

Rambutnya yang tadi tertata rapi, kini tercerai-berai. Mata dan keseluruhan wajahnya sembab. Tangannya yang menggenggam jaketku dengan erat, bergetar hebat.

"Astaga, Rana! Kamu kenapa?" tanyaku, sambil lakukan quick scan di seluruh tubuhnya.

Di sela isaknya, Rana meringis saat aku menggenggam lengan atas sebelah kanannya, buat pergerakanku terhenti seketika. Tanpa ubah posisi tubuh Rana, aku berpindah ke sisinya.

Benar saja. Luka melepuh bersarang di sana. Oranye matang, aku ikut merasa nyeri saat menatapnya.

"Ini kenapa? Kok kamu luka? Tadi pas kita pergi bareng-bareng, luka ini belum ada, kan?"

Rana tarik nafas, seakan ingin hentikan isaknya, sebelum jawab pertanyaanku. "Kena amuk Bapak lagi."

Sudah pasti, itu alasannya.

Aku putuskan untuk kebelakangkan rasa penasaranku akan mengapa Rana bisa terluka dan bagaimana detil ceritanya. Mengobati luka Rana jauh lebih penting dari seribu tanya yang aku punya.

"Kita ke dalam sekatang. Aku obatin," ujarku cepat.

Tangan kiri Rana menahan pergelangan tanganku. Dari balik bulu mata panjangnya, aku bisa lihat ia menatap aspal yang ia pijak. Menunduk, menyembunyikan wajahnya.

"Aku...gak mau masuk," cicitnya. "Malu."

Tanpa perlu penjelasan lanjutan, aku paham apa yang ada di isi kepala Rana. Hampir aku lupa kalau Rana, di balik senyumnya yang bawa bahagia, dan candanya yang seindah lagu cinta, ia simpan juga sisi tertutupnya sebagai tameng saat ia sedang terluka. Bagian dari dirinya yang ia bentengi dengan tembok setinggi langit. Satu yang ia percayakan padaku untuk melihat ke dalamnya.

"Kita ke mobil aja, ya? Ada kotak P3K."

Rana mengangguk. Mengikutiku masuk ke dalam mobil yang hanya berjarak dua langkah dari posisi kami.

Ia biarkan aku berkutat dengan lukanya. Membersihkan dan memberikan ointment yang ia butuhkan.

"Kamu nunggu di parkiran dari tadi?"

"Iya," jawab Rana. Tangisnya kini sudah berhenti. Syukurlah. "Aku gak berani masuk. Takut ketemu suster-suster sambil nangis. Kalau mereka nanya, aku takut gak bisa jawab."

"Kesini naik apa?"

"Lari."

Aku membulatkan mataku. "Sejauh itu? Dari rumah?"

Rana hanya mengangguk pelan. Sadar akan tangannya yang sudah selesai aku obati, kini ia tautkan kesepuluh jemarinya di atas pangkuannya. Salah satu kebiasaan Rana saat merasa gelisah.

"Aku cuma pengen sembunyi jauh dari Bapak. Tapi gak mau sendiri. Tapi aku gak tau harus temuin siapa. Jadi, lagi-lagi aku ganggu kamu. Maaf."

Ingin aku ingatkan Rana kalau ia bisa telfon aku. Kalau tidak seharusnya ia berjalan, atau berlari seperti yang ia katakan tadi, sejauh itu hanya karena ingin bertemu denganku. Tapi, aku tahu kalau bukan itu yang ia butuhkan.

Aku paham, kalau kalimat yang diawali dengan 'seharusnya' tidak akan berguna saat kita benar-benar sedang berada di situasi seperti itu. Tidak akan teringat.

"Jangan minta maaf. Kamu boleh temuin aku kapan aja. Atau kamu bisa telfon, ya? I'm one call away, remember?" ucapku, sambil mengelus kepala Rana.

Rana angkat pandangannya dari tautan jari di pangkuannya. Kedua bola matanya masih basah dan memerah.

Bagaimana aku berharap untuk sampai rumah sakit lebih cepat, kalian tidak akan bisa membayangkannya.

Rana mengambil tanganku yang sedang mengusap kepalanya. Ia genggam dengan kedua tangannya yang dinginㅡ mencari secercah rasa hangat di tengah rasa tidak nyaman yang membanjiri dirinya.

"Makasih, ya."

Pertanyaan-pertanyaanku tadi tentang mengapa dan bagaimana ini bisa terjadi, aku dorong ke belakang kepala. Rana akan bercerita tanpa diminta saat ia siap dan datang waktunya. Untuk sekarang, aku paham bahwa hadir di dekatnya adalah hal nomor satu yang paling ia butuhkan.

"Sama-sama, sayang. Selalu."

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now