Pantone 15-1040

78 6 0
                                    

halo! sebelum chapter ini dimulai, aku mau kasih heads up ke kalian kalau isi dari chapter ini 80% percakapan. tapi aku harap kalian tetap baca tanpa dilewati, karena semua informasi yang tersembunyi di sepanjang perjalanan cerita ini, akan terjawab di chapter ini.

lalu trigger warning: domestic violence, physical abuse, KDRT

selamat membaca <3

~

[Mahesa]

"Kamu kekasih Rana?"

Aku mengangguk kaku. Kepalaku masih sibuk memroses tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Terlalu banyak pertanyaan dan rasa heran yang memenuhi kepalaku. Duduk pun rasanya tidak nyaman. Entah kenapa berhadap-hadapan dengan seseorang yang mengaku sebagai ibu dari Rana terasa sangat salah.

Sosok di depanku ini tersenyu.

"Saya Ibunya Rana. Panggil aja Tante Kirana."

Aku sambut tangan yang terjulur sebagai tanda perkenalan.

"Saya Mahesa."

Sayup-sayup suara musik terdengar dari speaker parlor, namun udara yang ku hirup rasanya kental dengan rasa canggung. Senyum sendu Tante Kirana terlihat hambar. Mungkin karena ingatanku sudah dipenuhi oleh bagaimana air mata dan sakit yang Rana rasa sejak sosok Ibu di depanku ini meninggalkannya.

"Mungkin kamu sedikit banyak sudah tau bagaimana kondisi Rana, tepatnya, keluarga Rana. Pasti kamu bingung kenapa saya sekarang muncul di depan kamu. Maaf, kalau kehadiran saya buat kamu terkejut. Saya sudah kehabisan cara untuk menemui Rana."

"Buat apa?"

"Maaf?"

"Buat apa Tante mau ketemu Rana?"

"Saya mau jelaskan semuanya ke Rana, mau perbaiki semuanya."

"Rana pingsan waktu ketemu Tante."

"Saya tau. Mahesa, saya paham kamu pasti tidak suka sama saya. Tapi saya punya alasan, dan alasan ini yang mau saya sampaikan kepada Rana. Tapi belum sempat saya mengatakan apapun, Rana sudah kehilangan kesadaran. Setelahnya, saya tidak bisa menemukan dimana Rana, sama sekali. Bahkan disini."

Tante Kirana menatapku dengan memohon, seakan memintaku untuk memahami dirinya. Batinku menolak, ingin berteriak kepada Tante Kirana karena secara tidak langsung menjadi penyebab Rana terluka sampai sebegininya.

"Saya tidak tau lagi harus lewat cara apa menjelaskan ini semua kepada Rana. Mungkin kamu mau dengar? Kalau nanti Rana memang tidak mau lagi bertemu saya sama sekali, bisa tolong sampaikan semua ini pada Rana?"

Air mata mulai menggenangi kedua bola mata Tante Kirana yang kini kusadari sangat mirip dengan kedua mata Rana. Gurat wajahnya sendu, mengiba.

Aku menghela nafas, sebelum menjawab. "Silakan."

Tante Kirana menggulung lengan bajunya yang panjang. Memperlihatkan bagian pergelangan tangan sebelah dalamnya. Ada goresan panjang di sana, berwarna cokelat gelap, tidak selaras dengan kulit kuning langsat di sekitarnya. Tidak perlu banyak ilmu medis, orang awam pun tahu kalau itu adalah bekas luka bakar.

"Ini salah satu luka yang suami saya, bapaknya Rana, tinggalkan di tubuh saya. Satu dari belasan, atau mungkin puluhan luka lain yang tertutupi baju setiap harinya. Saya lari. Kalau Rana bercerita tentang saya yang meninggalkan dia dan adiknya, lari dari rumah, itu semua betul. Saya lari, tapi bukan untuk pergi meninggalkan Rana dan Mario selamanya. Saya lari mencari perlindungan, untuk selanjutnya menjemput Rana dan Mario, membawa mereka bersama saya."

Aku diam. Cukup paham dengan apa yang Tante Kirana sampaikan, namun aku tahu ceritanya belum selesai.

"Saya hanya ibu rumah tangga, Mahesa. Saya gak punya tabungan ataupun keberanian yang cukup untuk bawa pergi dua anak saya. Sebagai yatim piatu, saya tidak bisa lari kepada kedua orang tua saya. Pun, dulu hanya saya yang dipukuli. Tidak pernah satu kalipun Rana ataupun Mario menjadi bulan-bulanan di rumah. Selalu saya. Itulah yang membuat saya berpikir, mungkin tidak apa-apa, kalau Rana dan Mario saya tinggal di belakang untuk sementara, dan akan saya jemput kembali saat saya sudah mengantongi rasa aman."

Namun, ternyata saya salah. Beberapa kali dari kejauhan saya lihat Rana dengan luka memar di wajahnya, terpincang langkahnya, atau perban di sudut dahinya. Awalnya saya pikir, mungkin Rana jatuh. Namun saat saya beranikan diri untuk mendekat ke rumah, saya dengar teriakan yang sangat familiar. Teriakan yang dulu menjadi makanan sehari-hari untuk saya, kini dilemparkan kepada Rana. Selanjutnya, saya lihat Rana berlari keluar menutupi wajahnya. Saat itu saya tahu, mimpi buruk yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, kini jadi kenyataan."

Saya berhasil dapatkan rasa aman yang terjamin dari salah satu komunitas yang melindungi hak wanita. Bahkan pengurusnya bersedia untuk menjaga Rana dan Mario dari jauh. Saya tidak tahu Rana sudah bercerita sejauh apa, tapi kalau kamu tahu, Ibu Naomi, adalah sosok dari komunitas yang melindungi saya. Ibu Naomi bersedia menjaga Rana dan Mario untuk saya."

Tidak. Rana belum pernah menyebut nama Naomi dalam ceritanya. Semua informasi ini ditumpahkan kepadaku dan aku, walaupun lega mendengar fakta bahwa alasan Rana dan Mario ditinggalkan bukan karena tidak diinginkan, masih tidak mampu memproses semua cerita Tante Kirana.

"Tapi," tante Kirana melanjutkan ceritanya. "Lama kelamaan, saya semakin tidak sabar. Saya mau Rana dan Mario segera kembali ke pelukan saya. Saya mulai kirimkan surat. Diam-diam, saat rumah kosong, saya masuk dan memasang kamera pengintai di berbagai sudut, sebagai bukti jika terjadi kekerasan fisik di rumah kami. Agar suami saya bisa diadili."

Aku langsung teringat tentang cerita Rana. Bagaimana ia dapatkan surat dari ibunya saat itu, dan makanan kesukaannya yang tiba-tiba ada di kamar. Ternyata semua ini berhubungan.

"Sekarang, semua bukti sudah saya dapatkan. Dan saat saya sudah siap untuk maju melawan suami saya, saya justru kehilangan Rana. Setelah Rana mendapatkan kesadarannya kembali, saya tidak bisa lagi menemukannya, dimanapun."

Tante Kirana mengusap wajahnya yang basah akan air mata. Suaranya kian bergetar seiring dengan panjangnya cerita yang ia utarakan.

"Kamu tahu, dimana Rana, Mahesa? Saya ingin perbaiki semua."

Aku berdeham. Ada rasa nyeri di ulu hati saat teringat fakta bahwa saat ini, Rana pun menjauh dariku. Bukan hanya dari Tante Kirana.

"Tante, saya kesini juga ingin ketemu sama Rana. Tapi, Rana tidak ada."

Untuk yang kedua kalinya, aku menghela nafas berat.

"Maaf, Tante. Tapi sepertinya, saat ini Rana juga sedang lari dari saya."

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Kde žijí příběhy. Začni objevovat