Pantone 16-5721tcx

113 9 0
                                    

[Mahesa]

Bau alkohol, tirai hijau tosca, suara troli penuh alat medis, semua adalah hal yang lumrah mampir ke dalam pengelihatanku setiap hari dalam seminggu. Sudah nyaris tidak ada lagi rasa takut atau cemas setiap aku memasuki ruang Instalasi Gawat Darurat yang sudah seperti rumah keduaku sejak beberapa tahun ke belakang.

Namun, tidak hari ini.

Fakta bahwa Rana ada di salah satu ranjang di balik tirai, tidak sadarkan diri, dengan luka memar di perut dan kepala yang mengeluarkan darah, buat rasa cemas tidak mau pergi dari kepalaku.

Gelar dokter yang kupunya, saat ini terasa seperti bukan apa-apa. Aku seperti tidak punya keberanian untuk memeriksa Rana dengan kemampuan yang kupunya.

My emotion is all over the place right now, and it is clearly not a good thing.

"Kakak bakal sembuh kan kalau udah diobatin?"

Suara kecil Mario menarik fokusku kembali. Adik kecil Rana kini duduk di sampingku. Kedua matanya merah dan bengkak, pundaknya naik turun karna nafasnya masih tidak teratur. Begitu hebat tangisnya tadi, sampai saat ini masih ada isakan-isakan kecil yang terdengar sesekali.

Aku gerakkan lenganku, menarik Mario ke pangkuan. Kepalanya kusandarkan ke dadaku, beri tempat yang nyaman dengan situasi seadanya. Mario berhak dapat ketenangan setelah kekacauan yang baru saja terjadi di depan matanya.

"Iya, pasti Kak Rana sembuh. Jangan takut, jagoan."

Mario menengadah. Ia tatap aku dengan kedua mata bulatnya yang berair lagi. Satu tetes berhasil lolos, diikutin isakan kecil dari bibirnya.

"Bukanㅡhuks, bukan jagoan. Aku gak bisa jagain Kakak," isaknya. Jemarinya remas kuat jaketku yang ada di jangkauan tangan mungilnya.

"Mario jagoan, udah pinter nelfon Kak Mahesa. Kamu tau apa yang harus dilakukan buat bantu Kak Rana, ya kan? Hebat, jagoan."

Tangis Mario berlanjut lagi. Walau tak sekeras tadi saat aku menjemputnya dan Rana di rumah, tangisnya masih terdengar begitu pilu.

"Sa?"

Suara Farhan terdengar. Kebetulan ia yang sedang kedapatan jadwal untuk jaga IGD malam ini. Sedikit lega aku rasa, karena Rana ditangani oleh sahabatku. Aku bisa sedikit lebih terbuka menceritakan penyebab dari luka-luka yang dialami Rana.

"Udah? Gimana Rana?" Aku bawa Mario di gendongan, menghampiri Fahran.

Ia mengajakku masuk ke melewati tirai. Rana masih belum sadar.

Dari penjelasan Farhan, tidak ada cedera serius. Pendarahan di kepalanya juga tidak parah, walaupun CT Scan tetap akan dilakukan untuk memastikan segalanya agar lebih aman. Lebam di perutnya juga bukan luka trauma yang fatal. Secara keseluruhan, tubuh Rana hanya shock sampai memutuskan untuk shut down sejenak.

Rasa lega mengguyurku dari kepala sampai ujung kaki. Keadaan Rana baik-baik saja.

Kepala Mario kuusap. Usahaku untuk tawarkan sedikit ketenangan baginya. Sedetik kemudian, ia langsung meminta turun untuk menghampiri ranjang Kakaknya. Tangan berjarum infus Rana digenggamnya dengan lembut. Hatiku seperti tercubit melihatnya.

"Gue boleh nanya sesuatu?" kata Farhan hati-hati.

Rasanya, aku tahu apa yang akan ia tanyakan. Walaupun aku tidak ingin menceritakan apa penyebab Rana terluka seperti ini, tanpa seizin Rana, tapi Farhan berhak tahu. Ia dokternya.

"Luka di kepala Rana, gue yakin itu bukan karna terbentur. Yang di perutnya juga. Lo tau, penyebab sebenernya apa?"

Aku terdiam beberapa saat. Hela nafas ku keluarkan sebelum menjawab. Memikirkan susunan kalimat agar tidak kelewat batas. Namun, belum sempat aku menjawab, Mario mendahuluiku.

"Kakak ditimpuk Bapak pakai mangkok yang buat rokok itu. Perut kakak juga dipukul sama Bapak."

Suara Mario dari sisi ranjang terdengar. Ia mengusap-usap tangan Rana dengan jari-jari kecilnya.

Farhan menghampiri Mario dan berjongkok di dekatnya. Menyejajarkan tinggi mereka.

Aku mengikuti di belakang. Menarik kursi, lalu mengangkat tubuh Mario untuk duduk di sana. Berharap kaki kecilnya tidak terlalu lelah. Semua yang terjadi hari ini sudah pasti tak mudah untuk anak seusianya. Tubuhnya pasti letih luar biasa.

"Bapak yang lakuin itu?"

Mario mengangguk. Tangan Rana tak lepas dari genggamannya. "Abis itu, Kakak pingsan." Mario usap matanya yang mulai berair lagi. "Aku takut. Kakak gak bangun-bangun waktu aku panggilㅡhuks."

Farhan tepuk pundak Mario. "Kakak gak apa-apa. Habis ini Kakak kamu bakal bangun. Jangan khawatir, ya?"

Mario mengangguk. Kini Farhan berdiri dan menghampiriku. Seakan paham kalau aku juga memiliki kekhawatiran yang tidak sedikit untuk Rana, ia tepuk bahuku dua kali.

"She will be fine. You know that."

I know.

But sometimes fine is not enough, when what you want for her is only the best one.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Место, где живут истории. Откройте их для себя