Pantone 159

148 17 0
                                    

[Mahesa]

Hari Kamis pekan ini dihabiskan dengan dua mangkuk soto ayam dan teh hangat. Warung tenda milik Pak Aman, kesukaan Rana, di persimpangan jalan yang selalu kami lewati saat pulang. Meja sederhana ditutup terpal oranye, ciri khas tempat makan pinggir jalan. Sederhana.

"Minta nasinya sesuap, ya." Rana minta izin sebelum menyendok nasi dari piringku. Soto yang ia pesan memang tidak pernah dibersamai sepiring nasi.

Bukan seleranya, katanya.

"Mau bagi dua aja?"

"Nggak. Aku cuma mau satu suap biar gak maag. Kata Ibu, makan nasi itu harus."

Suara Rana sedikit mengecil di akhir kalimat. Membicarakan sosok Ibu selalu terasa getir baginya. Dari apa yang sudah ia bagi, terkesan jelas kalau masih sangat besar porsi rindu yang kasihku ini simpan untuk sang Ibu.

Terkadang, terdengar marah ikut terbesit disana. Wajar. Ibu pergi tanpa pamit dan tinggalkan seribu tanya saat Rana masih butuh peluk dan dekapnya. Semuanya terasa tidak adil bagi Rana kecil. Tapi, yang aku tahu, Rana masih ingat betul bagaimana besar cinta dan kasih yang ia dapatkan dari sosok wanita yang membawanya ke dunia.

Dan hal itulah yang membuat Rana masih percaya, bahwa suatu hari Ibu akan pulang.

Aku tersenyum. Tidak mau bertanya dan menolak untuk pancing Rana lanjut berbicara mengenai topik yang begitu sensitif untuknya, lebih jauh.

She is going to tell me when she feels like it.

"Mau dua suap juga boleh."

"Sengaja kamu mah biar aku gendut."

"Astaghfirullah, suudzon."

Rana tertawa. Kami habiskan makan malam sambil berbincang. Tentang pasien-pasien yang kutemui di rumah sakit, dan bagaimana mesin pembuat es krim yang biasa ia operasikan di parlor rusak pagi ini.

"Mulai besok gak boleh main hape kalau lagi jaga parlor. Kurang enak diliat, katanya."

"Walaupun lagi gak ada customer?"

"Walaupun lagi gak ada customer. Gak apa-apa, kan?"

Aku mengangguk. Menyuap sendokan kuah soto terakhir. "Tapi kalau aku kangen?"

Rana mendengus. Tapi, ujung telinganya keburu memerah. "Kamu gombalannya lebih parah dari pada anak SD yang pacaran di facebook."

"Stop bilang kayak gitu. Kamu ngingetin aku sama Keanu."

Tawa renyah terdengar dari bibir Rana. Buat alam bawah sadarku tanpa terasa ikut tertawa. Hadiahkan senyum di wajahku juga. Sama bahagianya seperti ekspresi yang ditunjukkan Rana.

"Keanu keren. Kapan-kapan aku mau ketemu lagi sama dia."

"Okay, stop bahas Keanu. Aku cemburu."

Rana meledekku dengan eluh-eluhan seperti suara bayi. Tangan kanannya maju untuk cubit pipi kananku. Tapi, hal lain tarik fokus dan perhatianku sepenuhnya. Canda dan tawa hilang tanpa bekas. Buyar.

"Ini kenapa? Kemarin gak ada memar disini?"

Ekspresi Rana berubah seratus delapan puluh derajat. Tapi tidak ada usaha yang berarti darinya untuk bebaskan pergelangan tangannya dari genggamanku. Ia hanya turunkan tangannya ke meja, tahu kalau usaha sembunyikan apapun dariku akan sia-sia.

"Semalem kena timpuk mangkok melamin karena Bapak marah pas pulang gak ada makanan. Tangannya yang kena, soalnya aku refleks tutupin kepala."

Mencelos rongga dadaku mendengarnya. Kalau bisa, ingin aku bawa lari Rana sekarang juga. Ingin aku sembunyikan agar tidak bisa lagi disakiti oleh dunia.

Tapi Ranaku adalah perempuan hebat dengan seribu mimpi, juga sejuta cinta untuk adik kesayangannya. tidak mungkin aku renggut Rana secara paksa dan pisahkan dirinya dari itu semua.

"Udah diobatin? Kenapa gak bilang tadi?"

"Udah. Aku kompres pake es batu tadi sambil jaga parlor. Gak apa-apa."

Aku tersenyum tipis. Kepala Rana kuberikan usapan halus. "Kuat banget sih, pacar aku."

"Maleeessss," Rana merengek. Tawa dan senyumnya kembali lagi.

Ah. Aku jadi kepikiran sesuatu.

"Rana," panggilku.

Rana berikan atensinya penuh untukku. Tangan kanannya yang tadi kugenggam, berubah haluan. Kini, jari kami bertautan.

"Walaupun sekarang jaga parlor gak boleh sambil main hape, tetep jangan jauh-jauh dari hape kamu, ya. Entah itu di kantong, atau di laci dekat kamu. Incase, ada apa-apa, atau aku telfon kamu karena sesuatu yang darurat, tetep bisa komunikasi. Okay?"

Dengan anggukan yang mantap, Rana angkat jempol kirinya. "Siap. Pasti!" Jawabnya.

Masih dengan tangan kanannya di genggamanku, Rana habiskan teh manis hangatnya.

Nanti. Pasti akan aku bawa Rana ke tempat paling aman, bersama mimpi dan orang yang ia sayang. Sehingga bahagia yang akan ia rasakan menjadi lengkap. Di waktu yang tepat.

Nanti.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now