Pantone 000c

206 22 0
                                    

[Rana]

Melakukan hal yang menyenangkan selalu sukses buat waktu seperti tiba-tiba saja hilang. Jika biasanya satu menit terasa sama lamanya seperti enam puluh detik, saat sedang bahagia, ibaratnya, satu menit selesai dalam tiga kedip mata saja.

Mobil putih milik Mahesa berhenti di depan rumahku. Tidak bisa disebut rumah, kalau kamu tanya pendapatku, sebenarnya. Rumah selalu dianalogikan sebagai tempat ternyaman untuk pulang. Tempat teraman, tempat yang bawa tenang.

Tapi kata sifat yang biasa aku gunakan untuk deskripsikan rumah sejak bertahun lalu adalah; berantakan. Dalam kamus di kepalaku, rumah sama artinya dengan hancur, teriakan, makian. Mimpi buruk.

Aku tidak tahu bagaimana rasanya masuk ke rumah dan disambut pelukan hangat atau kecupan di dahi. Tidak pernah mengenal hangatnya masakan Ibu atau damainya kehadiran Bapak yang baca koran di kursi taman depan pintu. Yang aku selama ini lihat adalah raut marah, yang kemudian disambung oleh sumpah serapah.

Mahesa tahu itu. Dia paham betul segala buruk dan bopengnya keadaan keluargaku.

"Rana? Kita udah sampe."

"Eh, iya."

Aku tersadar dari lamunan karena Mahesa berikan bahuku satu tepukan. Rupanya ia sudah panggil namaku secata berulang, namun tidak mendapat jawaban.

Selalu seperti ini.

Untuk turun dari dunia kecil dimana hanya ada aku dan Mahesa, lalu dipaksa dunia untuk kembali masuk ke dunia berdinding empat yang orang-orang sebut sebagai rumah, rasanya enggan.

"Mau aku anterin ke dalam? Biar aku yang jelasin juga ke Bapak, jaga-jaga kalau beliau nuduh kamu yang macam-macam. Ya?"

Mahesa dan seribu kekhawatirannya untukku. Kadang aku curiga kalau ini semua sebenarnya mimpi. Di lain hari saat menangis jadi satu-satunya pilihan yang aku miliki dan kepalaku penuh dengan caci maki untuk diri sendiri, aku berpikir kalau sikap penuh sayangmu ini hanya ilusi. Kalau kamu sebenarnya melakukan semuanya sebatas out of pity.

"Dan biarin kamu disumpah-serapahin sama Bapak? Gak akan. Aku gak mau dia nyakitin orang yang aku sayang. Gak apa-apa, aku sendiri aja."

"Tapi kamu juga orang yang aku sayang."

"I will be ok. Dia orang tuaku, semuanya aman."

Kataku. Seakan tidak pernah baca cerita orang tua bunuh anaknya membabi buta. Tapi, berpura-pura tidak tahu kadang rasanya lebih mudah dari pada mengakui apa yang sebenarnya ada.

"Kamu selalu bilang gitu, tapi aku tetap gak bisa tenang. I'm sorry." Mahesa masih terlihat gusar. Aku ingin menangis.

Perasaan disayang seperti ini, sungguh sangat menyenangkan. Kalau bisa, aku ingin hidup dengan rasa ini selamanya. Jangan pernah hilang.

"Nomor aku masih di speed dial, kan? Ingat, i am one call away. Jangan pernah ragu buat telfon aku, ok? Walaupun jam tiga pagi sekalipun. Rana, please?"

Aku mengangguk patuh. Satu senyuman yang aku pikir cukup meyakinkan, aku berikan. Mahesa hembuskan nafas setengah hati. Sejujurnya, akupun sama. Kalau bisa, aku tidak mau masuk dan habiskan waktu istirahatku di sana.

Genggaman tangan Mahesa yang sangat erat namun hangat, aku lepaskan. Mahesa terlihat berat hati, tapi aku harus masuk ke rumah. Semakin malam aku tunjukkan batang hidung, keadaan akan semakin runyam.

"Selamat istirahat. Besok kita ketemu lagi, ya?"

"Pasti. Harus," jawab Mahesa.

Aku turun dan berikan lambaian tangan terakhir. Dengan isi kepala yang berontak, aku berjalan masuk ke rumah. Mobil Mahesa masih di sana. Aku tahu, dia akan selalu menunggu sampai aku masuk terlebih dahulu. Bahkan terkadang, ia matikan mesin dan tunggu beberapa menit di depan sana. Katanya, takut-takut ada teriakan dariku dan ia tak ada untuk membantu.

Yah. Sangat menakutkan, memang. Walaupun kemungkinan itu ada, tapi aku memohon pada penguasa alam semesta agar hal itu tidak akan terjadi. Semoga.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang