Pantone PMS 473 C

85 8 0
                                    

[Mahesa]

Alam semesta rasanya kembali baik-baik saja saat akhirnya Rana mengangkat teleponku di dering ketiga. Setelah menyelesaikan pekerjaan di hari yang terasa sangat panjang ini, aku tak sia-siakan barang satu detikpun untuk terbuang dan langsung menghubungi Rana. Mental sudah kupersiapkan untuk berjaga jika saja Rana masih tidak mau diraih untuk bicara.

Tapi, semesta sedang berbaik hati hari ini.

Bohong jika aku berkata kalau berbicara dengan Rana di sambungan telepon bawa rasa lega di dada. Suaranya yang pelan, tidak seperi Rana ku yang aku kenal biasanya, buat khawatir makin memuncak. Rana setuju untuk bertemu denganku di kedai kecil yang sudah familiar bagi kami.

Tidak butuh waktu lama dari rumah sakit. Dengan mudah, aku temukan Rana duduk membelakangi pintu masuk kedai, di meja paling pojok yang bersisian langsung dengan dinding jingga muda.

Rasa rindu yang aku punya terlalu banyak. Belum pernah kami melalui hal seperti ini. Radio silence dan tidak bertemu selama berhari-hari dengan suasana yang tidak baik-baik saja, baru kali ini terjadi.

Aku menghampiri Rana dengan cepat. Seakan sadar akan kedatanganku, Rana menoleh. Buat kakiku terasa seperti tertancap paku bumi dan berhenti melangkah di detik yang sama saat wajah Rana menoleh ke arahku.

Tidak ada senyum disana. Rana ku tidak terlihat seperti Rana. Binar matanya entah hilang kemana. Pelipisnya membiru, tersamarkan oleh helaian rambut yang ia biarkan tergerai. Buat orang awam tak mungkin menyadarinya, namun hal itu tidak berlaku untukku. Luka yang sudah mengering masih bisa kulihat dengan jelas di ujung bibirnya.

"Kamu kenapa?"

Rana diam. Rana tetap terdiam walaupun aku sudah duduk di depannya.

"Rana? Mau cerita?"

"Biasa. Karena Bapak," jawabnya singkat. Tidak ada nada manis yang biasa ia gunakan untuk dapatkan rasa nyaman dariku. Rana kini seperti membawa dinding beton untuk melindunginya dari sekitar. Menahannya untuk tidak keluar.

Aku berusaha menekan rasa tidak nyaman yang menyerang dadaku secara brutal melihat Rana seperti ini.

"Gara-gara ini kamu masuk IGD?" tanyaku, pelan.

"Kamu tau?"

"Farhan cerita."

Rana terkekeh. Namun terdengar bukan suara tawa kecil yang sangat kusuka. Kekehan Rana barusan penuh rasa pedih. Seolah Ranaku sedang menertawakan dirinya sendiri.

"Kenapa gak bilang aku? Hmmm?" aku berkata perlahan, mengatur cara bicaraku agar Rana tidak merasa terpojokkan.

"Kamu juga lagi sakit, dan itu karena aku. Aku masih tau malu untuk ga nambah beban kamu."

"Rana, no. Jangan ngomong kayak gitu."

"But it's true."

"No it's not. Aku udah bilang kan kalau aku gak pernah anggap kamu sebagai beban. Kamu sangatㅡ"

"Ibu kembali." Rana memotong ucapanku.

Aku terdiam beberapa detik.

"Apa?" tanyaku seperti orang bodoh. Aku kira apa yang baru saja kudengar hanya ilusi semata akibat terlalu lama tidak mendengar Rana berbicara. Mungkin itu suara Rana yang timbul dari alam bawah sadarku.

"Ibu. Ibu kembali, ketemu aku." Satu tetes air mata berhasil melepaskan diri dan meluncur bebas di pipi kiri Rana.

Sebelum kepalaku selesai memproses apa yang baru saja kudengar, isak Rana semakin menjadi. Aku berpindah menarik kursiku untuk duduk di sebelah Rana. Berusaha menutupinya dari pandangan orang lain dengan bahuku. Aku tahu Rana benci menangis di tempat yang mudah terlihat oleh orang lain.

Untuknya sampai tidak mampu menahan air mata, aku tidak mau membayangkan seperti apa sakit yang sedang dirasakan Rana.

"Ibu...kembali, Mahesa."

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now