Pantone 1785 C

78 7 0
                                    

a.n

sebelum dimulai, aku mau minta maaaaff dulu untuk update yang lama huhuhu. kerjaanku menggila ternyata, dan aku sakit hampir seminggu, jd cerita ini gak kepegang. padahal udah jadi 70%nya :( semoga setelah ini aku bisa update rutin lagi.

sedikit lg warna warni selesai! semoga kaliam suka. selamat baca!<3




~




[Rana]

"...sayang."

Berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan agar mataku dapat selesai dari keterpejamannya, Tuhan? Maaf aku sempat minta untuk mati. Maaf, tempo hari aku merasa lelah bernafas setiap hari. Ternyata, aku masih ingin mendengar Mahesa mengucap sayang lebih lama. Ternyata, aku masih belum mau memejamkan mata untuk selamanya.

"Rana, bangun yuk."

Aku bisa rasakan genggaman hangat Mahesa yang tidak pernah absen kehadirannya setiap keberuntunganku datang dan aku bisa merasakan keadaan sekitar dalam ketidaksadaranku yang berkepanjangan. Di detik-detik sempit yang aku dapatkan untuk bangun walau tak sepenuhnya, aku selalu bisa rasakan hangan tangan Mahesa. Aku selalu bisa dengar deru nafasnya yang terasa dekat. Aku bisa kenali kehadiran Mahesa dengan mudah.

"Kemarin bisa gerakkin tangan. Kata dokter Arifin, harusnya kamu hari ini bisa bangun. Walaupun aku dokter juga, aku lebih percaya kata dokter Arifin."

Seakan ada lem super yang merekatkan kedua kelopak mataku. Rasanya sangat sulit untuk membuat celah di antaranya. Sangat berat, tidak dapat aku gerakkan.

Mahesa menghela nafas dalam.

"Mario udah ceria lagi. Walaupun dia masih sedih karena Kakak kesayangannya belum bangun, tapi dia bisa ketawa. Sekarang dia lagi makan siang sama Ibu kalian, aku ditinggal sendirian. Kamu bangun, yuk. Biar aku makannya gak sendirian."

Hening menyapa kembali.

"Bangun, yuk. Kita menang sama-sama. Tinggal sedikit lagi, biar kamu bahagia."

"....hhh."

Pertama, yang terlihat hanya bayang-bayang buram. Telingaku berdengung, seperti terlalu banyak suara yang ingin didengar di saat yang bersamaan.

Yang kurasa selanjutnya adalah, tenggorokanku yang begitu tercekat. Rasa ingin batuk adalah apa yang menyadarkanku kalau kini, akhirnya, aku berhasil bangun.

Telingaku berdengung, samar-samar aku dengar suara pintu terbuka dan beberapa orang berbicara. Berkali-kali aku kedipkan mata karena asing rasanya menyambut cahaya yang masuk ke mata. Sinar menyilaukan disorotkan ke kedua bola mataku bergantian, kepalaku dimiringkan kesana kemari, entah apa yang mereka cari. Entah berapa lama waktu sudah terlewat, sampai akhirnya aku rasa genggaman hangat Mahesa kembali menyapa.

"Hai," sapanya.

Aku tidak tahu bagaimana rupaku saat ini. Tapi ada hal yang berbeda di wajah Mahesa. Gurat lelah terlihat jelas disana. Kedua mata Mahesa yang biasanya bawa rasa teduh dan nyaman kini pancarkan resah dan gelisahㅡpun basah, memerah, seakan ia habiskan banyak waktu untuk menangis.

"Sa..."

"Iya? I'm here, Sayang."

Tangan Mahesa bergerak, mengusap pelipiskuㅡOh, basah. Aku tidak tahu kalau orang yang baru bangun dari koma masih punya energi untuk menangis. Aku tidak pernah koma sebelumnya. Bapak tidak pernah menyakitiku sejauh ini sebelumnya.

...Bapak.

"Bapak kamu udah di tangan pihak yang berwajib, jangan khawatir."

Oh, sepertinya aku mengucapkan kata yang satu itu dengan lantang hingga Mahesa mendengarnya.

Hela nafas lega aku hembuskan. Tentang konsekuensinya, menang atau kalahnya, bagaimana kami akan bertaruh, badan dan fikiranku belum ada kapasitas untuk memikirkan tentang hal itu. Kita bicarakan lagi nanti. Untuk saat ini, biarkan aku menghela nafas lega terlebih dulu.

"Kondisi pasien sudah cukup stabil. Untuk saat iniㅡ"

Masih dengan telinga yang agak berdengung, samar bisa kudengar seseorang berbicara dari samping Mahesa. Berjas putih, ah, dokter.

"KAKAK UDAH BANGUN??"

Hampir patah rasanya tulang leherku karena kuputar terlalu cepat ke arah pintu saat suara Mario terdengar menyapa. Adikku berdiri di sana, utuh, tanpa luka, masih dengan senyum manisnya. Kehadirannya selalu berhasil bawa rasa hangat luar biasa walaupun sakit di sekujur badanku masih buat ingin menjerit.

Adikku.

"Aku kangen Kakak!"

Dengan ajaib, Mario mampu naik ke atas ranjang rumah sakit dan sembunyikan wajahnya di pelukanku. Ini. Inilah yang aku inginkan.

"Kakak juga kangen."

"Aku takut. Kakak tidurnya lama."

"Maaf, ya?"

Mario mengangguk. Pelukannya mengerat. Kubalas sama eratnya walau hanya sebelah tangan.

"Kata Ibu Kakak pasti bangun. Aku percaya Ibu. Ternyata Ibu betul."

Ucap Mario dengan senyumnya, dan berhasil menusukku tepat di ulu hati.

Di detik itulah aku sadari, Mario tadi datang tidak sendiri.

Ada Ibu disana. Di dekat Mahesa, mendengarkan perkataan dokter sambil sesekali mengusap air matanya. Sambil sesekali melirik ke arahku dan Mahesa.

Ada Ibu disana.

Ibu masih disana.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang