Gelap

87 6 0
                                    

[Mahesa]

Sayang

Masih di parlor atau udah jalan pulang?

Mau aku jemput?

Kayaknya shift kamu seharusnya udh selesai

Sejak lima belas menit yang lalu, ya?

Aku masih duduk diam di posisi yang sama di dalam mobilku. Entah sudah berapa kali aku memeriksa ruang percakapanku dengan Rana yang masih saja centang abu-abu. Rana belum membuka pesanku sejak setengah jam yang lalu, sedari aku masih memanaskan mobil di parkiran rumah sakit.

Rencana sudah tersusun rapi. Kue kecil untuk Rana sudah duduk rapi di kursi penumpang. Tidak terlalu besar, aku paham Rana tidak suka sesuatu yang berlebihan. Hanya cukup untuk kami makan berdua. Di kursi belakang sudah duduk manis kotak hitam berpita senada, berisi hadiah yang kusiapkan beberapa hari yang lalu.

Sayangnya, aku lupa satu hal; Rana tidak bisa dihubungi jika ia sedang bekerja.

Masih ada di ingatanku sekelebat informasi mengenai hal ini. Bagaimana beberapa waktu yang lalu, Rana berkata bahwa ia tidak lagi diperkenankan untuk memegang ponsel saat bekerja.

Namun masalahnya, kini shift Rana seharusnya sudah selesai. Jam di pergelangan tanganku telah menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh lima. Sudah lebih lima belas menit dari jam Rana bekerja di waktu sore hari.

Terbilang nekat, memang, keputusanku untuk menghampiri wilayah rumah Rana, tanpa izin Rana, dan tanpa membawa Rana. Mengingat bagaimana Om Arifin, lelaki yang berstatus Bapak dari kekasihku (namun tidak berkelakuan sebagaimana statusnya menuntutnya) bisa muncul kapan saja karena ini adalah lingkungan tempat tinggalnya, agak membuatku khawatir. Aku tahu persis bagaimana Rana peduli dan tidak ingin aku terluka.

Tapi, hari ini hari ulang tahunnya. Sedikit kejutan, seharusnya tidak apa-apa.

Entah berapa menit terlewati, sampai ponselku akhirnya berbunyi memecah sepi.



Aaaaaa maaf maaf maaaaff

Aku baru liat chat kamu :(

Udah di jalan pulang nih!!

Sama Mario!!

Dua menit lagi sampai <3




Aku tersenyum begitu saja. Segala sesuatu tentang Rana memang semagical itu.



Gak usah buru2, sayang

Aku deket rumah kamu nih

Kamu di rumah??????



Walaupun hanya pesan tulisan, aku bisa dengar jelas suara Rana yang terkejut. Secepat mungkin ku ketikkan balasan.



Di tamannya kok, bukan di depan rumah

Sepi

Kayaknya bapak kamu jg gak akan ada di sekitar sini



Jangan keluar mobil

Aku dua menit lagi sampai




Jemariku yang sudah mengetik balasan untuk Rana berhenti bergerak karena kaca mobilku diketuk dari luar. Hampir keluar bola mataku saat ternyata Om Arifin berdiri di sebelahku, walau berbataskan pintu.

Ponselku kuletakkan. Tidak jadi kukirimkan balasan untuk Rana.

Well, orang ini adalah orang yang tak segan-segan membuat Ranaku berdarah. Ingatan bagaimana bukan sekali dua kali aku melihat Rana memar, berdarah, menangis, karenanya, membuat aku lupa kalau Rana tidak ingin aku bersentuhan atau memiliki sepeser urusan pun dengan pria ini.

Tapi sisi egoisku berontak. Ada rasa amarah yang mengamuk dan menggerakkan tanganku membuka pintum Memerintahkan kakiku untuk keluar mobil.

Mari kita lihat apa yang ia punya untukku.

Satu bogem melayang ke pipiku.

Oh, ini yang ia punya.

"Kamu bayar berapa Rana setiap malamnya?"

Aku meludah. Pipi bagian dalamku berdarah.

"Selamat malam, Om."

Bagaimanapun, satu dari dua orang dalam percakapan ini harus menjadi pihak yang ber-otak. Aku putuskan untuk mengambil peran tersebut.

Om Arifin tertawa mencibir. "Banyak gaya anak orang kaya. Kamu kasih banyak uang ke Rana, kan?"

"Saya kekasihnya Rana, nama sayaㅡ"

"Saya gak peduli. Kalau mau ajak anak saya pergi, tinggalin uang depan rumah. Rana itu bodoh, gak pernah nyiapin makan buat Bapaknya sebelum pergi. Kamu tanggung jawab, tinggalin uang buat saya beli makan."

Benar-benar tidak waras.

Sudah cukup aku berlagak waras untuk mengimbanginya.

"Maaf, Om. Mungkin kalau Om bisa mengurangi intensitas memukul Rana sampai babak belur dan memanfaatkan waktu untuk mencari kerja, Om bisa membeli makan sendiri tanpa menunggu Rana membeli bahan dan menyiapkan masakan. Apa lagi meminta uang kepada saya, yang bukan siapa-siapa untuk Om."

"Ngomong apa kamu?"

Kerah kemejaku ditarik kasar oleh Om Arifin. Dengan kasar, kusingkirkan dua kepalan tangannya yang menjijikan dari diriku.

"Saya adalah laki-laki yang dibesarkan dengan penuh sopan dan santun. Tapi ada kalanya, sopan santun tidak berguna, contohnya saat ini."

"Kurang ajar!"

"MAHESA!"

Om Arifin mulai melayangkan kepalan tangannya dengan membabi buta ke arahku. Tidak ada satupun yang mendarat sesuai rencananya. Kemampuan berkelahinya masih di bawah level bela diriku.

Namun semua fokusku buyar saat Rana berlari dan menarik kaus Om Arifin dari belakang. Perhatian Om Arifin yang tadinya tertuju padaku, kini beralih ke Rana.

"MINGGIR ANAK GOBLOK!!"

Mario menangis di dekat kami. Tapi mengambil Rana dari cengkraman Om Arifin lebih penting dari apapun saat ini.

Dalam sekelebat saja, Om Arifin melepaskan rambut Rana yang ia tarik dengan manusiawi. Di sepersekian detik itu aku sudah tahu kalau ia akan memukul kepala Rana dengan kepalan tangannya.

Detik selanjutnya, yang aku tahu, aku berhasil memeluk Rana dengan kedua tanganku, dan hantaman keras mengenai leher belakangku.

Segalanya menggelap.

~

a.n

iya, ada warna abu-abu dan hitam di chapter ini. tapi menurut aku, yang warna utamanya justru tidak berwarna. hanya gelap.

semoga kalian suka!!!

p.s: aku abis nonton konser kmrn hari minggu dan sekarang mellow karena PCD :")

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now