Pantone 13-1011tcx

370 28 1
                                    

[Mahesa]

"DOR!"

Aku tersenyum walau hampir hilang keseimbangan. Rana muncul dengan segudang kejutan. Kali ini ada kantung kertas warna cokelat muda di tangan kanan. Beberapa senti luas pipinya masih terbalut perban, yang tadi pagi aku gantikan.

"Kamu nungguin dari pagi?"

"Nggak. Emang aku sebucin itu?" Jawabnya penuh riang, seperti biasa. "Aku ke parlor dulu. Tapi shift hari ini cuma lima jam. Jadi, abis itu aku kesini lagi."

"Berarti udah sampai setengah jam yang lalu?"

"Jalanan Jakarta macet, Mahesa. Kamu pikir aku terbang?"

Aku tertawa. "Bawa es krim?" tanyaku.

"Tentu!"

Dengan langkah yang dilongkap, tangan Rana yang lebih kecil bawa aku ke bawah pohon rindang. Bibir tipisnya sibuk senandungkan nada menyenangkan. Sesekali ia menoleh ke belakang, tatap aku dengan senyum yang tak pernah lekang.

"Hari ini rasa apa yang free?"

"Choco forest! Favorit aku!"

Nada bicaranya yang terkadang seperti anak umur lima sungguh tak pernah gagal bawa bahagia. Di balik itu, aku tidak pernah lupa kalau Ranaku masih simpan seribu luka yang tidak bisa sembuh walaupun rawat inap selama dua dasawarsa.

"Maaf ya, sampe sekarang aku cuma bisa traktir es krim gratis dari parlor. Nanti kalau aku udah lulus dan kerja beneran, kamu aku bawa ke restoran bintang lima yang waktu itu! Janji."

Sejumput helai rambutnya yang tertiup, aku selipkan ke belakang telinga.

"Jangan minta maaf. Kamu udah berbagi es krim yang seharusnya jadi hadiah kecil untuk tutup hari kamu jaga parlor aja, udah lebih dari cukup buat aku."

Senyum Rana kembali merekah. Ingatkan aku pada tahun baru yang meriah. Buat semua orang bersorak karena kembang api yang sukses menyulap gelap gulitanya langit malam menjadi indah.

Dua sendok kayu kecil ia tunjukkan. Satu untukku, satu lagi untuknya. Seperti biasa di hari-hari dimana jadwal kita bersahabat, semangkuk kecil es krim buat senang bukan main. Ditambah Rana yang datang tanpa tambahan memar. Jantungku tenang, tidak ingin lompat keluar.

Rana lambaikan tangan kepada beberapa perawat yang lewat. Rumah sakit ini dan dirinya memang sudah bersahabat. Pembawaannya yang hangat buat mereka semua mudah merasa dekat.

"Besok anak-anak mau main. Kamu mau ikut?"

Senyuman Rana memudar lima puluh persennya. Ternyata berkecil hati masih ada di agendanya sehari-hari. Jadi pekerjaan rumahku untuk selalu ingatkan kasihku, kalau Rana yang ku kenal lebih dari itu.

"Gak apa-apa. Mereka itu gelarnya doang dokter, kelakuannya mah questionable." Ucapku, coba meyakinkan.

Bukan sekali dua kali aku gagal buat Rana ucap 'iya'. Rasa kerdil hati yang ia punya untuk dirinya sendiri, selalu menang dan sampai di garis finish lebih dulu. Rasanya ingin aku tendang ia keluar agar berhenti hasut hatinya yang mudah gamang.

"Kalau kamu gak nyaman, kita bisa pulang duluan. I promise."

Karena sebenarnya yang aku ingin, adalah Rana yang akhirnya menang dari rasa tidak pantas. Rana yang akhirnya bisa lihat betapa dirinya sesungguhnya hebat. Kalau Rana sesungguhnya seribu kali lebih berharga dari yang selama ini dirinya lihat.

"Tapi kalian dokter. Kalau aku gak ngerti obrolannya, gimana?"

"Ada aku. Kamu gak akan sendirian di sana."

Dengan awan penuh ragu yang teramat mendung di atas kepala, ia tatap aku tiga detik.

"Aku jawab nanti, ya. Makan es krim dulu."

Baiklah. Setidaknya kali ini jawaban yang aku dapat bukan penolakan. Mungkin kita satu langkah lebih dekat dari penerimaan. Semoga.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum