Pantone 12-1404

104 9 0
                                    

[Mahesa]

Mahesa, jangan lupa nanti anter Mama ke super market, ya. Ajak Rana kalau bisa. Mama kangen.

Derit pintu mengambil alih perhatianku dari ponsel berisi pesan dari Mama yang sedang kubaca. Rana muncul dari baliknya, mengenakan tas punggung warna cokelat muda. Tas favorit Rana, karena laptopnya bisa muat disana, tidak perlu bawa tas tangan atau sebagainya.

Aku cepat-cepat balas 'iya' pada Mama, sebelum masukkan ponsel ke dalam saku celana.

Penampilan Rana dengan kardigan rajut juga celana kulotnya terlihat nyaman dan manis, seperti biasa. Seperti Ranaku, di kesehariannya.

"Hai," sapanya, duduk di sofa yang tersedia di sisi lain ruangan.

Aku tersenyum, berjalan menghampiri Rana. "Gimana bimbingannya? Lancar?"

"Gak terlalu. Isi pembahasan sama perhitungannya udah betul, tapi ternyata pedoman skripsi yang aku baca selama ini, ada versi terbarunya. Jadi harus rombak susunannya. Bikin males nih yang kayak begini," keluh Rana panjang lebar. Ia letakkan tas nya di atas meja.

Ah, masih jelas di dalam kepalaku ingatan tentang seberapa iritnya kalimat yang Rana ucapkan di awal-awal kami berkenalan. Jangankan mengatakan kalimat lengkap dengan subjek, predikat, objek, dan keterangan. Menjawab pertanyaanku saja, kadang hanya dengan anggukan atau gelengan.

Rana yang sekarang sudah jauh lebih terbuka. Walau masih cukup tinggi dan tebal dinding pertahanannya, setidaknya sekarang ia sudah buat jendela kecil sebagai jalan bagiku untuk melihat ke bagian dalam.

Every little things matter. Suatu hari Rana pasti bisa runtuhkan dinding yang sebenarnya buat dirinya jauh dari kata nyaman dan aman. Aku percaya.

"Nanti bisa dikerjain, pasti selesai," aku singkirkan sejumput kecil rambutnya ke belakang telinga. "Udah makan?"

"Belum," jawab Rana. "Kamu udah selesai kan, jadwalnya?"

"Udah, kok. Mau pesan makan apa?"

"Gak usah, aku masak tadi sebelum berangkat."

Rana buka tasnya dan mengeluarkan dua tempat makan lengkap dengan sendok dan garpu. Dengan senyum di wajahnya, Rana menjelaskan semua menu yang ia bawa. Sambil bercerita tentang apa saja yang ia lakukan di kampusnya, dan aku yang membalas tentang segala yang mengisi hariku sejak buka mata pagi tadi, dua kotak makan penuh makanan habis dalam dua puluh menit.

"Eh, sebentar. Ada telfon dari gurunya Mario."

Aku mengangguk. Percakapan kami terputus karena Rana berdiri dari duduknya dan berjalan ke ujung ruangan dekat jendela. Bertukar beberapa kalimat dengan Mario dari sambungan telepon di ponselnya, sebelum akhirnya kembali ke sofa.

"Aku pulang sekarang, ya? Mario minta jemput di sekolah, dia minta anterin ke toko buku karena harus beli cat air buat tugas besok," ucap Rana sambil membereskan tempat makan kami.

"Loh? Pas banget. Mama juga minta anter ke super market. Kita cari mall yang ada toko buku plus super market aja, biar aku bisa anter kamu juga."

"Gak usah, gak enak sama Mama. Ada Mario juga, ah. Aku malu kesannya ngerepotin."

Aku cepat-cepat genggam tangan Rana. "Gak ada yang ngerasa direpotin, dan kamu gak merepotkan. Mario juga anak baik, Mama pasti senang buat kenal sama adik kesayangan kamu. Jangan khawatir," kataku, tenang. Tidak boleh terlalu menekan atau terdengar memaksa.

Ingat, Rana baru memberiku jendela. Jangan sampai ia menguncinya dari dalam karena aku mendobrak paksa dan buat rasa nyaman yang susah payah kukenalkan padanya, hilang begitu saja.

Rana terlihat ragu beberapa saat. "Tapi kita harus ke sekolah Mario dulu. Makin lama sampenya, jadi muter-muter. Apa lagi kamu harus jemput Mama dulu di apartemen."

"Apartemen aku kan deket dari sini. Terus, kita bisa ke mall yang emang searah sama jalan ke sekolah Mario. Gak ada masalah. Kita bareng aja, ya?"

"Beneran gak apa-apa sama Mama?"

Aku tersenyum, berusaha meyakinkan Rana. "Mama bahkan nyuruh aku ajak kamu." Aku rogoh ponselku dan kutunjukkan chat terakhir Mama.

Sekali lagi, Rana terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk. "Okay."

Tanpa sadar, aku menghela nafas lega. "Okay," jawabku juga.

Rana tersenyum kecil. "Makasih ya, Mahesa."

Aku usap punggung tangannya yang masih kugenggam dengan ibu jariku. "Kapanpun, sayang."

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now