Pantone 504 M

83 6 0
                                    

[Mahesa]

"Ma, i'm fine, loh. Kita pulang aja, yuk?"

"No. We'll be staying here at least sampai memar-memar kamu sembuh."

Aku memijat kepalaku. Merasa tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauan Mama, karena sudah gagal menjaga diri untuk tidak terluka. Walaupun wajahku jadi ungu dan biru di beberapa sisi, tidak ada satupun rasa sesal bersarang di hati.

Ini yang kuinginkan. Bersama Rana, dengan segala resiko yang ada. Tidak ada 'seandainya'. Kejadian beberapa hari yang lalu terjadi karena inginku untuk merayakan ulang tahun Rana.

Jika ada satu hal yang kudapatkan selain memar-memar, hal itu adalah rasa takjub yang semakin besar akan kuatnya wanitaku. Rasa ingin melindungi yang semakin memenuhi kepala dan dada. Rasa tak ingin meninggalkan Rana yang kian luar biasa terasa.

Semakin tidak ada alasan bagiku untuk meninggalkannya.

Ponsel di genggaman tangan ku periksa dengan satu lirikan. Tidak ada tanda-tanda Rana membalas pesan dariku yang tadi sudah tertanda bahwa ia telah membacanya. Mungkin lelah keburu menjemputnya ke alam mimpi sana. Semoga saja.

"Sa, kamu yakin sama Rana?"

Pertanyaan Mama bukan hanya menarik perhatianku kembali, tapi mengejutkan diriku seperti tersengat api. Aku sontak menegakkan dudukku di atas sofa maroon yang sudah sangat lama tak kulihat adanya karena kesibukan di Jakarta buat ku tak punya waktu untuk menghabiskan hari di villa.

Mama duduk di kursi makan. Hanya beberapa meter saja jaraknya dariku, namun rasanya, ada jutaan kilometer jarak yang terbentang antara pertanyaan yang barusan Mama lontarkan dengan prinsip yang selama ini kupegang.

"Maksud Mama?"

"Mama gak maksud menyinggung kamu. Tapi dengan Rana, segalanya gak akan mudah. Gak mudah bagi Mama untuk lihat kamu luka seperti ini. Mama khawatir, ke depannya kamu akan gimana kalau tetap lanjut sama Rana."

"Ma, ini bukan apa-apa buat aku dibandingkanㅡ"

"Ini apa-apa untuk Mama, Mahesa."

Mama menghapus air matanya.

Tuhan, aku tidak bisa melihat Mama berderai air mata.

"Ma," kuberikan Mama satu peluk yang kuharap cukup untuk menghangatkan dan sedikit menenangkan hatinya. "Maaf aku kurang jago berantemnya, jadi luka," ucapku dengan sedikit canda. Mama memberi balasan berupa hadiah cubitan kecil di paha.

"Mama serius," kata Mama. Namun aku tahu, Mama sudah sedikit merasa lebih baik dari pada sebelumnya. "Kamu tau kan, Mama sayang sama Rana, dan Mama selama ini gak ada masalah kalau kamu memang maunya sama dia. Rana anak baik, she's pretty, inside and outside, and i adore her. Tapi kalai bersama dia mempertaruhkan kamu seperti ini, Mama gak bisa bilang kalau Mama baik-baik aja."

Aku tarik kursi di sebelah Mama. Ku genggam dengan erat tangan dari wanita yang membawaku ke dunia.

"Maaf aku buat Mama khawatir. Tapi gak ada satupun dari hal ini yang merupakan kesalahan dari Rana. Justru aku semakin kagum dan sayang sama dia, ternyata dia wanita yang hebat dan kuatnya bukan main, iya kan, Ma? Dan hal itu buat rasa ingin melindungi Rana yang aku rasakan, justru semakin besar. Kemarin itu, aku hanya gak siap dan salah perhitungan aja. Lain kali aku pasti lebih hati-hati."

Mama terlihat ragu, dan aku tak ingin buat Mama merasa diburu waktu. Kuberikan ruang sebesat yang Mama perlu untuk memberikan percayanya padaku. Untuk yakin, kalau tidak ada selain Rana yang ku mau.

"You should marry her. Itu satu-satunya cara untuk melindungi Rana, agar kalau ada apa-apa, kamu punya kuasa yang lebih besar, Sa. Semuanya akan lebih aman."

"I will. If i ever get married, aku cuma hanya akan menikah sama Rana. Secepatnya, Ma. Saat semuanya udah memungkinkan."

Mama memberi tatap yang penuh makna walaupun disampaikan tanpa suara dan kata. Aku berikan senyum terbaikku untuk Mama. Tak ingin buatnya khawatir lebih dari ini.

"Tante Elisa? I'm here!"

"Na? Ngapain lo disini?"

~

a.n

hehehehehehehehehehehehe

sampai ketemu minggu depan!<3

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now