Pantone 1C

89 7 0
                                    

[Rana]

Bumi sepertinya bergerak mengitari matahari dengan kecepatan yang lebih tinggi hari ini. Beberapa kali aku terhuyung ke kanan dan kiri saat melangkah. Kepalaku berdenyut nyeri. Walaupun sudah meminum obat pereda sakit dan memaksakan diri untuk istirahat tadi, sepertinya tubuhku masih berontak. Setiap bagiannya seakan berteriak marah karena kupaksa bangun dan berangkat bekerja sore ini.

Angin sejuk paska hujan seharian juga tak membuat segalanya jadi ringan. Kulitku bergidik saat hembusan angin menembus rajutan baju hangat yang kukenakan.

Aku sudah terlambat sepuluh menit. Ingin rasanya berjalan lebih cepat, namun masih bisa melangkah satu-dua dengan selamat saja aku seharusnya bersyukur.

Kugelengkan kepala kuat-kuat, berusaha untuk mengusir kunang-kunang yang ramai di mata. Tidak ada waktu untuk bermanja. Juga tidak ada Mahesa. Hari ini aku harus bisa baik-baik saja sendirian.

Tersisa beberapa meter hingga aku sampai di parlor, dan langkah kakiku berhenti sepenuhnya. Seperti disiram air dingin di tengah hari, aku terdiam dalam mode waspada.

Tidak ada kata yang mampu menjelaskan apa yang aku rasakan saat ini.

Di sana, di depan parlor, berdiri seorang wanita dengan mantel abu-abu. Seorang wanita, yang aku kenal sebagai ibu.

Ah, mungkin hanya halusinasi efek sakit kepalaku.

Aku melangkah lagi. Jika aku sudah melewati sosok itu dan masuk ke dalam toko, ia pasti akan menghilang dengan sendirinya. Seperti laga opera dalam serial TV yang sudah biasa itu.

Sosok itu terkesiap saat aku melewatinya, dan meraih gagang pintu masuk toko. Suaranya lirih, buatku meragu apakah itu bagian dari halusinasiku, atau kenyataan sedang mempermainkanku saat ini.

"Rana."

Aku terdiam. Mataku menatap gagang pintu yang kugenggam dengan gemetar. Tanpa perintah, tanpa aba-aba, mataku penuh dengan air mata. Dadaku sesak, seakan tanpa ampun seseorang menginjak-injakku disana sampai udara pun tak menemukan jalan masuk.

Sosok itu masih disana saat aku memutar badan dengan perlahan.

Satu detik terasa seperti selamanya saat aku meresapi sosok wanita yang kupanggil dengan ibu, yang menghilang tanpa kata, yang sekuat apapun aku mencoba untuk lupa, parasnya tetap tak pernah angkat kaki dari ingatanku.

"Rana, ya Tuhan. Kamu kenapa, sayang?"

Aku mundur selangkah saat Ibu mendekatiku. Punggungku menabrak pintu kaca toko, aku tertahan disana.

Aku ingin bersuara, namun seakan tidak ada tenaga, aku hanya bisa membiarkan air mataku turun dan bermain sepuas hatinya di pipi kanan dan kiri. Setengah mati aku coba untuk tetap bernafas dengan manusiawi, namun aku tetap gagal di setiap percobaan.

Seakan paham dengan kondisiku yang berantakan, Ibu tak lagi melangkah maju. Ibu terdiam di sana, dengan tangan kanannya di udara. Terhenti saat hendak meraihku ke dalam pelukannya.

"Ini Ibu, sayang. Kamu masih ingat Ibu, kan?" ucapnya dengan suara pelan.

Aku tersedak. Pipiku tersama semakin basah, air mata yang mengalir semakin banyak. Tangan kiriku yang tak berpegangan pada gagang pintu menekan dada yang tidak berguna dan tak mampu menghirup udara. Aku pejamkan mataku dengan erat saat tanah yang kupijak terasa berputar semakin kencang.

Semuanya terjadi terlalu tiba-tiba.

"Rana, kamu gak apa-apa?" Pintu parlor terdorong dari dalam dengan perlahan. Suara Ovi menyapa telingaku kemudian.

"Maaf, Ibu siapa, ya?" Suara Ovi terdengar lagi, kali ini ia arahkan kepada Ibu.

"Sayaㅡ"

"RANA!"

Dan semua suara yang kudengar dan rasa sakit yang kurasa, hilang.

~

a.n

hufff panjang ya POV Rana kali ini. banyak yang mau aku jelaskan soalnya :")

MAAF UNTUK CLIFFHANGERNYA SHHDJDHDJSH sekali2 gapapa ya :p

see u again very soon!!

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now