Pantone 6C

104 7 0
                                    

[Rana]

Semuanya terasa berputar.

Ingatanku abu-abu. Yang aku ingat terakhir adalah pedih dan sakit luar biasa di kepalaku, dan hantaman di tubuhku, sebelum gelap menjemput sepenuhnya.

Entah sudah berapa lama aku terbaring di kasur berbataskan tirai di segala sisi. Ruang IGD yang tidak asing sama sekaliㅡaku sudah terlalu sering mengunjungi tempat ini untuk bertemu Mahesa.

Mungkin aku tidak sadarkan diri selama dua jam, mungkin juga dua hari. Tidak tahu. Kepalaku masih terlalu berisik dengan dentuman-dentuman menyakitkan untuk diajak berpikir.

Beberapa detik terlewati, aku baru sadar ada tangan kecil yang memegangi dua jari tangan kananku.

Mario, adikku, tertidur dengan kepalanya di sisi ranjangku, dan tubuh mungilnya duduk dengan sangat tidak nyaman di kursi rumah sakit. Punggung sempitnya turun naik dengan teratur.

Aku berusaha duduk tegak. Perut dan kepalaku berdenyut nyeri, tapi aku harus memindahkan adikku ke atas kasur. Tubuh kecilnya tidak seharusnya tidur dengan posisi tidak nyaman seperti itu.

"Ranaㅡkamu mau ngapain?"

Ringisan tidak bisa kutahan saat Mahesa, yang tiba-tiba muncul dari balik tirai pembatas ranjang IGD, mengembalikanku ke posisi berbaring. Kepalaku masih terasa sangat pusing.

Aku benci tidak berdaya seperti ini.

"Mau pindahin Mario. Kasihan, tidurnya kayak gitu," ucapku pelan. Tenggorokanku kering, perih.

Apa-apaan sih aku ini? Lemah sekali.

Pantas saja Bapak benci sekali melihatku. Memang sudah sepatutnya Bapak mengata-ngataiku setiap hari.

"Hey, hey jangan nangis. Aku pindahin Marionya, ya? Ke sebelah kamu, okay?"

Aku hanya mengangguk. Rasanya semakin membenci diriku sendiri yang tidak bisa berhenti menangis.

Kenapa sih aku ini? Ini kan bukan pertama kali aku luka secara fisik karena Bapak. Kenapa aku sesensitif ini?

Mahesa menidurkan Mario di sebelahku. Ranjang rumah sakit yang sebenarnya tidak terlalu besar, untungnya masih cukup dan kuat untuk menampung tubuhku dan Mario. Adikku ini langsung bergelung memeluk lengan kiriku. Tidurnya tidak terganggu walaupun aku masih terisak.

Aku kecup dahi adikku satu kali.

"Makasih," kataku kemudian, pada Mahesa.

Kursi yang tadi ditempati Mario kini diduduki Mahesa. Ia usap bagian kepalaku yang tidak tertutup perban.

Oh, aku bahkan baru sadar kalau ada perban membelit kepalaku.

Mahesa menjawab dengan anggukan. "Gimana? Apa yang kamu rasain sekarang?"

"Pusing." Aku tidak punya tenaga untuk bicara terlalu banyak.

Mahesa mengangguk. "Kamu pingsan empat jam."

"Aku kenapa? Gegar otak?"

Kepalaku di perban. Mengingat berapa kali Bapak memberikan trauma fisik di kepalaku, rasanya sangat besar kemungkinan diriku mengalami gegar otak.

"Tadi Farhan yang periksa. Dari pemeriksaan singkat, gak ada gejala fatal. Tapi nanti kita lihat hasil CT-Scan, ya?"

Aku memejamkan mata dan menghela nafas. Agak lega, namun tidak sepenuhnya.

Saat aku membuka mata, Mahesa masih disana. Menatapku dengan lembut, mengusap kepalaku dengan sayang.

"Makasih banyak, Mahesa."

Ia tersenyum. Tidak terlihat lelah atau kesal di kilatan mata Mahesa. Hanya ketenangan dan manisnya kasih sayang yang ku temukan di tatapannya.

Pelipisku basah karena air mata yang mengalir menganak sungai disana. Biarlah aku cengeng untuk hari ini. Segalanya terasa terlalu banyak, aku lelah.

"Kapanpun," ucap Mahesa dengan senyum. "Sekarang masih tengah malam, tidur lagi aja. Aku jagain, jangan khawatir."

Tubuhku serasa seperti diselimuti rasa aman dan nyaman secara tiba-tiba, saat Mahesa berkata seperti itu.

Dengan adikku yang terlelap dan dengkuran halusnya, Mahesa duduk tepat di sebelah ranjang baringku, dan tempat yang aku yakin Bapak tidak bisa melukaiku, rasa kantuk seakan menarikku dengan kekuatan penuh.

Aku memutuskan untuk tidur lagi.

Walaupun aku tahu, sebanyak apapun aku tidur dan bangun, dan kembali tidur, lalu bangun lagi, mimpi buruk ini masih akan menghantui.

Entah sampai kapan.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now