Pantone 16-0726

78 6 0
                                    

[Mahesa]

Denyutan kepala tidak mereda walaupun pereda nyeri sudah aku tenggak sejak tadi membuka mata. Masih tidak ada kabar atau balasan apapun dari Rana. Radio silence ini masih terus berlanjut, entah sampai kapan akan Rana pertahankan diamnya.

Tanpa acuh, aku masukkan kembali ponselku ke dalam tas, sebelum memijat kembali dahi yang meraung-raung entah meminta apa.

"Lo sakit?"

Aku paksa hilangkan kunang-kunang dengan memejamkan mata kuat-kuat diiringi gelengan kepala. Mungkin terlalu kuat gelengannya, karena saat aku buka mata, Farhan menatapku dengan raut wajah seperti melihat orang sekarat.

"Pusing banget gila."

"Siapa gila?"

"Lo."

Keanu yang tiba-tiba muncul di ruang TV apartemen Farhan dengan sekaleng kopi di tangannya, cemberut. Aku bisa merasakan kursi di sebelahku bergerak, Keanu mendudukkan dirinya di sana.

"Ada masalah, Sa?"

Jawaban Farhan aku jawab dengan helaan nafas panjang.

"Rana, ya? Kayaknya yang bisa bikin lo galau sampai gak bernyawa gini cuma Rana."

Helaan nafas kedua ku berikan kepada Keanu sebagai jawaban.

Suara bel intercom berbunyi. Farhan bangkit untuk membukakan pintu.

"Haiㅡguys...kenapa lo Sa?"

Tiana datang dengan wajah bingung. Jarang-jarang kami bisa kumpul ber-empat seperti ini, namun sekalinya waktu memungkinkan, suasana hati dan pikiranku sedang berantakan. Makan siang yang sudah dijadwalkan ini justru sepertinya dilingkupi suasana suram.

"Udah hampir seminggu Rana gak ada kabar," ucapku akhirnya.

"Chat juga gak sama sekali?" tanya Farhan.

Aku menggeleng.

"Lo abis bikin salah, kali?" ucap Keanu.

"Terakhir ketemu kita baik-baik aja. Hell, gue berharapnya dia memang marah karena gue salah. Seenggaknya kalau gitu, gue tau gue harus apa."

"Ke rumahnya?"

"Udah, gak ada."

Iya. Akhirnya aku nekat menunggu Rana beberapa meter di dekat rumahnya. Tapi sejak aku tiba saat gelap gulita, sampai matahari menggila sinarnya, tidak ada tanda-tanda Rana datang ataupun keluar dari sana.

Paska pembicaraanku dengan Tante Kirana yang menghabiskan waktu tidak sebentar tempo hari, urgensi untuk bertemu Rana semakin besar. Sedikit demi sedikit, walaupun masih agak samar, aku sudah mulai bisa menebak kenapa Rana memutuskan untuk menghilang saat ini. Dan tebakanku membuat aku hampir gila karena rasa khawatir yang rasanya bisa mecekikku sampai habis nafas kapan saja.

"Di tempat kerjanya?"

"Setiap hari gue nunggu. Gak pernah ketemu."

"Loh? Barusan gue dari parlor, ketemu Rana. Dia kerja kok hari ini. Ini makanya, gue bawa ice cream," kata Tiana sambil duduk di sofa single yang masih kosong. Ia meletakkan kantung kertas yang sangat familiar di atas meja.

Mendengar ucapan Tiana, otomatis aku duduk menegakkan kepala.

"Rana ada di parlor? Barusan?"

Tiana mengangguk. "Iya, ini ice cream gue, Rana yang bungkusin. Sebentar, kalau lo masih gak yakin," Tiana merogoh clutch di pangkuannya. "Bener kok, ini nama kasirnya nama Rana."

Kertas struk berwarna khaki ia berikan kepadaku. Di tengah gempuran sakit kepala yang di luar nalar nyerinya, aku masih bisa membaca dengan jelas kalau benar, nama Rana tertulis di baris atas sebelum deretan nama ice cream yang Tiana beli, sebagai kasir. Hari ini. Hanya kurang dari satu jam yang lalu.

"Tadi kami sempet ngobrol sebentar. Katanya shift dia udah mau selesai, Sa. Kalau lo mau nyamperin, mungkin masih sempat."

"Atau Sa, mungkin dia emang masih butuh waktu?"

Aku menoleh ke arah Farhan. Dengan cepat aku menggeleng. Sudah tidak ada banyak waktu untuk berpikir.

"Udah cukup seminggu. Kalau lebih dari ini, gue bakalan beneran gila."

"Kayaknya emang udah gila."

Keanu dipelototi oleh Tiana.

"IYA AMPUN! Bercanda, ya Tuhan."

Aku mengenakan jaket dengan cepat. "Sorry gue gak jadi ikut makan siang bareng. Masalah yang kali ini benar-benar harus gue selesaiin secepetnya."

"Santai, Sa. Hati-hati," kata Tiana.

"Good luck."

I hope. Im hoping for a very good luck.

~

a.n

good luck Mahesa :p hehe

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now