Pantone 19-4052

77 7 0
                                    

[Mahesa]

Tanpa banyak bicara, Tiana meletakkan kantung kertas yang tidak begitu besar di atas meja. Mama menyambutnya dengan pelukan ringan, dan bertukar kata yang tak seberapa sebelum beranjak ke kamarnya.

Setelahnya, Tiana ambil posisi duduk di kursi yang Mama duduki tadi, belum seberapa lama.

"Tante lupa bawa obat-obatan buat lo because according to her, she was in a rush to bring you here. Dan katanya, Tante gak mau nyuruh lo nyetir, dia juga gak yakin ada toko obat yang sedia semua obat lo di sekitar sini. So she called me, and now im here."

"Jauh-jauh dari Jakarta? Lo gak ada jadwal di rumah sakit?"

"You think i'll be here kalau gue ada jadwal?" Tiana melepas jaket biru tua yang ia kenakan, dan menyampirkannya di sandaran kursi.

Aku menjauhkan diri dari meja. Duduk dari sofa dan menengadahkan kepala. Entah pening karena memar, atau karena keputusan Mama yang serba di luar kepala. Tolong jangan tanya. Yang pasti, pusing itu ada dirasa.

"Sorry, lo jadi repot."

"Santai aja."

"Besok balik jangan naik taksi. Sama Pak Amir aja."

Tiana senyum lebar. "Lo emang yang terbaik."

Aku tertawa singkat, lalu memejamkan mata. Hening mengisi beberapa ketuk detik, sebelum Tiana kembali buka suara.

"Soal Rana. Is everything ok? I mean, you and her?"

Aku membuka mata, lalu menegakkan kepala. Menatap Tiana yang melihat ke arahku dari posisi duduknya.

"Of course. Why wouldn't it be."

"I don't know, Sa. Gue cuma khawatir. You never told me, told us, about this."

"It's not my place to tell, Na. Ini urusan keluarganya Rana. Gue gak berhak buka mulut tentang ini semua. Apa lagi ke kalian, yang baru kenal Rana seumur jagung."

Tiana diam. Seakan mencerna kata-kata yang barusan aku lontarkan.

"Sorry, gue kaget aja kalau ternyata alasan lo datang dengan ambulance adalah karena Papanya Rana."

"It's nothing. Makasih udah khawatir, but i'm fine. We are fine. Gue dan Rana baik-baik aja."

Untuk yang kedua kalinya, Tiana diam. Tapi kali ini, ia bukan diam untuk mencerna apa yang baru saja kukatakan. Diamnya Tiana kali ini seperti diselimuti jutaan ragu. Seakan ia sedang mempertimbangkan sesuatu di dalam kepalanya. Seperti sedang menimbang satu dan dua hal yang ingin ia katan.

"Sa, sebenarnya selain minta gue bawain obat, Tante Elisa ngomong sesuatu waktu tadi nelfon."

"Mama? Ngomong apa?"

Tiana bangkit dan berpindah untuk duduk di sofa yang sama denganku. Matanya berpaling ke arah pintu kamar Mama yang tertutup rapat, seakan memastikan sesuatu.

"Tante minta tolong ke gue untuk coba ngomong sama lo kalau mungkin, lo gak perlu berkorban sebanyak ini untuk Rana."

Tiana berkata dengan pelan, namun efeknya padaku sekencang petir di tengah malam.

"Hah?"

"Tante gak minta gue maksa lo dan Rana untuk putus secara langsung. Dia cuma minta gue ngajak lo ngobrol, dan menahan lo untuk terluka lebih jauh dari ini," Tiana memberi jeda. "Also she said, Rana is not ready for commitment yet. She is worry, Sa."

Head in hands. Pusing rasanya mendengar kalimat Tiana bahwa Mama bercerita sampai sana pada Tiana.

Aku paham rasa khawatir yang Mama punya. Tapi rasanya hal seperti ini, kenyataan bahwa Rana masih selalu ragu untuk berkomitmen di level yang lebih tinggi, tidak seharusnya Mama bagi ke orang lain.

Memang apa yang bisa Tiana lakukan setelah mengetahui hal ini? Menarik paksa diriku agar tak perlu lagi berurusan dengan Rana selamanya? Aku ajak kelahi dunia kalau hal itu sampai terjadi.

"Thank you lo udah bilang ke gue apa yang Mama sampein, Na. Tapi jangan khawatir, kayak yang tadi gue bilang, gue sama Rana gak apa-apa. We are fine, and we will be fine."

~

a.n

maaf aku telat update huhuhu
hectic banget pekan ini aku ga sempet cari inspirasiㅠㅠ
semoga kalian suka sama part ini, and see you again soon!!

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now