Pantone 15-3817

103 9 0
                                    

[Rana]

"Kakak, ini bukan yang namanya cat air?"

"Bukan, ini cat minyak. Ada tulisannya oil, artinya minyak. Coba cari yang tulisannya water."

"Oke!"

Mario langsung berlari ke rak dimana ia menemukan cat minyak di tangannya barusan. Adikku satu-satunya ini memang selalu penuh semangat. Berada di dekatnya selalu menyenangkan.

Sebenarnya, aku tadi berniat mengajak Mario ke toko buku dekat rumah saja. Beli perlengkapan di pusat perbelanjaan seperti ini sudah pasti menuntut kita untuk rogoh kantong lebih dalam. Tapi, apa alasan yang harus kugunakan jika ingin menolah ajakan Tante Elisa?

Tidak punya uang? Yang benar saja.

Hidupku memang menyedihkan, tapi tidak perlu diumbar ke orang luar.

Sedikit khawatir sebenarnya memperhitungkan keuangan bulan ini. Revisi skripsi berkali-kali buat perencanaanku agak melebar kemana-mana. Namun, setelah lihat mata Mario yang berbinar-binar saat ia menginjakkan kaki di toko buku ini, rasanya kebahagiaan ikut mekar di dalam dadaku. Rasa khawatir hilang begitu saja.

"Bagus novelnya, aku udah baca."

Aku menoleh ke arah Mahesa, yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangku. Tubuh tingginya membuat ia bisa mengintip ke buku yang sedang ku pegang.

"Beneran?"

Mahesa mengangguk. "Agak gak adil sih buat pemeran utamanya. Dia belum benar-benar bahagia, menurut aku, tapi udah meninggal."

Buku di tanganku, aku balik. Blurbnya menarik. Sedari tadi, aku memang sudah agak tertarik untuk membeli buku dengan sampul berwarna taro ini. Terlalu tidak menarik bagi beberapa orang, karena sampulnya hadir tanpa gambar apapun. Tapi justru ini yang menangkap perhatianku.

"Mungkin kalau dia lanjut hidup terus, dia semakin ga bahagia."

Mahesa menanggapi dengan gumaman. "Mau beli buku itu? Aku ada di rumah kalau kamu pengin baca."

"Mau sih," aku balik buku di tanganku beberapa kali, sampai mataku tangkap harga buku tersebut di pojok kanan bawah.

Tidak jadi.

Uang yang aku butuhkan untuk membayar buku di tanganku ini, sama dengan uang print revisi skripsiku sampai sidang nanti. Bukan kebutuhan primer juga, bukan sesuatu yang aku benar-benar perlukan.

"Pinjem punya kamu aja, deh. Hehehe. Mubazir beli abis itu bakal didiemin di laci kamar."

Mahesa menjawil hidungku. "Kalau mau beli, gak apa-apa. Aku yang bayar," katanya, lalu mengambil buku yang ada di tanganku. Ia berjalan begitu saja .

"Mahesa gak usah! Eh-"

"Kakak aku udah ketemu catnya!!!"

Langkahku yang mau mengejar Mahesa terhenti, karena Mario tiba-tiba saja muncul dan menarik tanganku. Di pelukannya ada satu kemasan cat air berbentuk persegi panjang berisi dua belas macam warna. Mata adikku berbinar-binar. Kebahagiaannya menular sampai ke dalam hatiku.

"Pinter! Kita beli yang ini?"

Mario mengangguk antusias, namun setelah tiga kali anggukan, ia berhenti. Binar matanya meredup.

"Tapi harganya mahal. Aku cari yang lain, malah lebih mahal lagi. Kakak ada uang?"

Hatiku seperti tercubit mendengarnya.

Pelan-pelan, aku berlutut di depan Mario. "Ada. Gak apa-apa, kita beli yang ini."

Mario seperti belum selesai dengan rasa ragunya. Ia beberapa kali menatap ke sekitar, sambil gigiti bibir bawahnya.

"Kenapa?" tanyaku pelan. Aku usap-usap tangan kecilnya di genggamanku.

"Kalau Bapak nanti tiba-tiba minta uang, uang Kakak habis gak?"

Sekarang aku rasanya ingin menangis. Tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan bagaimana beruntungnya dan bersyukurnya aku memiliki adik kecil sesempurna Mario.

"Jangan khawatir, yang penting kita beli dulu catnya, ya? Kamu suka, kan?"

Senyum Mario kembali. "Suka! Nanti kalau aku udah besar, aku bakal cari uang yang banyak biar Bapak gak abisin uang Kakak terus. Aku aja yang kasih uang ke Bapak!!" Katanya riang, lupa mengecilkan suaranya.

"Iya, iya, sayang. Yuk, kita bayar di kasir," ucapku cepat sebelum Mario berkata apa-apa lagi. Khawatir.

Mario mengangguk, ia kini kembali memandangi cat airnya dengan senyum di bibirnya yang kecil.

"Rana, udah selesai pilih-pilihnya?"

Nyawaku seperti tertarik ke ujung kaki saat suara Tante Elisa tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku menoleh dengan cepat, mendapati Tante Elisa berdiri di sana, tidak sampai satu meter jaraknya dariku.

Dalam hati, aku berdoa sekuat yang aku bisa. Semoga Tante Elisa tidak mendengar apa yang baru saja Mario katakan.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now