Pantone 11-0601 TPX

81 6 0
                                    

[Rana]

Proses bangun kali ini, terasa sangat panjang.

Bukan sekadar kedipkan mata usir bayang buram mimpi yang tak mampu diingat saat bangun sepenuhnya. Bukan hanya tentang kembali ke dunia nyata karena bunyi dering jam atau kilau sinar matahari pagi yang datang tanpa permisi.

Kali ini, semuanya terasa lamban.

Yang kurasakan pertama adalah betapa beratnya seluruh tubuhku. Seakan ada beton yang menimpa ragaku dari ujung kepala sampai ujung kaki dan menahannya untuk bergerak. Mulutku terasa seperti kapasㅡantara betul-betul ada, atau sekelebat bayang saja. Kedua ujung tanganku, entah dimana. Tidak terasa apa-apa. Aku tahu, mataku terpejam. Tapi, rasanya seperti ada hujan kilat warna putih yang menyilaukan, berebut ingin masuk lewat kelopak mata yang bahkan tidak terbuka.

Sakit. Hanya itu satu-satunya kata yang mampu menggambarkan segalanya saat ini.

"Kata dokter apa, Sa? Gimana perkembangan Rana?"

"Gak ada infeksi apa-apa di luka nya, dan untungnya gak sampai menembus pembuluh darah, jadiㅡ"

Suara Mahesa.

Aku berusaha keras untuk tajamkan telinga.

Ayo lah aku ingin bangun! Aku ingin ikut bicara. Aku ingin lihat wajah Mahesa. Aku ingin memeluknya.

"ㅡsudah kamu serahkan, ke polisi, kan? Kalau mereka mau, Tante bisa tunjukkan dimana letak kameranya."

"Udah, Tante. Tapi saat ini masih proses interogasi Om dulu. Setelahnya akan ada inspeksi lanjutan di rumah, terutama kamar Rana."

Ada genggaman terasa di tangan kananku. Oh, disitu rupanya tangaku. Kini terasa, masih ada. Genggaman yang melingkupinya terasa hangat dan familiar. Genggaman yang sangat menenangkan, yang begitu aku kenal dan aku rindukan.

Kali ini suara perbincangan Mahesa dan satu wanita yang ada di dalam ruangan terhenti. Aku berusaha buka mata, ingin lihat apa yang membuat mereka tidak lagi bertukar kata. Tapi sia-sia. Mata bodoh ini masih saja betah memejam.

"Yang penting, Rana sekarang udah ada disini." Ah, Mahesa bersuara lagi.

"Will she even wake up?"

"Tante, please. Jangan ngomong kayak gitu. She will be okay. Rana pasti akan bangun."

"Sudah tiga hari, Sa. Tante benar-benar menyesal pernah meninggalkan Rana. Seharusnya Tante bawa Rana walaupun waktu itu tidak punya apa-apa selain nyawa."

Oh, itu suara Ibu.

Sial. Seakan rasa sakit di sekujur tubuhku belum cukup, kalimat barusan membuat rasa sakitnya berlusin-lusin kali lipat sekarang.

"Tante sangat harap Rana segera sadarㅡbangun dari koma nya. Gak apa-apa kalau dia gak mau maafin saya. Yang penting, dia bangun."

Di detik yang sama, terasa tangan lain menggenggam tangan kiri ku. Tangan yang asing, namun tidak menimbulkan rasa tidak nyaman. Ada rasa hangat yang sudah sangat lama tidak aku rasakan, hingag hampir asing rasanya.

Hangat dari Ibu.

"Rana punya hati yang lebih luas dari pada seluruh samudra dijadikan satu. Saya gak bisa dan gak berhak untuk bilang apa dia akan maafin Tante. Tapi, saya tau Rana punya banyak cinta untuk orang-orang yang pantas mendapatkannya."

Mahesa...

Frustasi rasanya. Aku ingin membuka mata. Sekuat tenaga aku coba, namun nihil hasilnya. Justru ada suara berdenging nyaring di samping telingaku.

"Rana?"

Dengingan nyaring bodoh yang memekakkan telinga itu terdengar semakin tinggi intensitasnya. Seakan semakin keras usahaku untuk bangun, semakin kencang mesin bodoh itu akan memekik nyaring memperingati semua orang yang ada di ruangan.

Aku ingin bangun. Aku ingin bicara!

Genggaman tangan di kedua sisiku hilang. Digantikan oleh sentuhan asing di sama sini. Di kepala, di lengan, di leher, dimana-mana. Banyak suara bersahutan, belasan 'kenapa' dan 'apa yang terjadi' terdengar dengan suara Mahesa. Ada suara lain yang tidak aku kenal sama sekali menjawab tanya Mahesa, namun tak jelas apa katanya.

Aku hanya ingin membuka mata. Aku ingin bangun.

Kali ini, aku tidak mau mati.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now