Pantone 14-3812 TCX

95 6 0
                                    

[Mahesa]

Senja sudah pamit di ufuk barat meninggalkan pendar oranye keemasan sebagai jejaknya, saat aku tiba di apartemen untuk menutup hari. Setelah berbincang dengan Rana pagi tadi, kami selesaikan hari dengan kesibukan sendiri-sendiri.

Well, kalian semua tahu kalau aku dan Rana sama-sama dua dengan usia yang bukan lagi belasan. Bukan lagi siswa berseragam yang harus bertukar pesan dengan kekasih tujuh kali dua puluh empat jam.

Sebesar apapun keinginanku untuk selalu ada di saat Rana butuh, sebesar itu pula keinginanku untuk memberikan Rana ruang dan waktu yang ia butuhkan untuk dirinya sendiri. Untuk menjadi Ranaisha Haira, tanpa embel-embel kekasih Mahesa.

Getar ponsel di saku membuat jemariku yang ingin menekan sandi pintu apartemen berhenti begitu saja. Khawatir jika ini adalah notifikasi emergency dari rumah sakit, kuutaman memeriksa dahulu ponselku, sebelum masuk ke apartemen.

Senyum tak bisa kutahan saat melihat tulisan di layar segi empat dalam genggaman.

RANA'S BIRTHDAY IS TWO DAYS AWAY

Sengaja kuatur huruf kapital semua agar tak akan terlewat peringatannya dari kepala.

Rana bukan tipe perempuan yang akan marah karena ulang tahunnya terlewatkan. Namun aku ingin setiap tahunnya, Rana ingat akan fakta salah satu dari jutaan manusia yang bernafas di planet bernama bumi, sangat mensyukuri kelahirannya. Sangat bahagia akan eksistensinya di dunia.

"Mahesa? Itu kamu?"

Suara Mama terdengar dari dapur. Aroma bolu karamel menyapa indera penciumanku. Tidak pernah berubah harum manis kue khas buatan Mama.

"Iya, Ma," jawabku. "Wah harumnyaaa."

Mama tertawa kecil. "Sana bersih-bersih dulu. Nanti Mama buatin teh untuk teman makan kue nya."

Pipi kiri Mama kuberi kecupan. "Siap."

"Oh iya! Mahesa, sebentar!"

Langkahku terhenti saat Mama dengan terburu-buru memanggil, dan mengambil sesuatu dari bawah meja ruang tamu. Satu kardus berukuran sedang Mama bawa di pelukannya.

"Ini, tadi ada paket. Untuk kamu."

Aku meneliti detail pengiriman, sambil mengingat-ingat barang apa yang aku beli dekat-dekat ini.

"Oh! Kado Rana, kayaknya."

"Rana ulang tahun?"

"Dua hari lagi."

"Iya? Wah, nanti Mama bikinin kue."

Aku tersenyum. "She'll love it."

Mama ikut tersenyum, dan mengusap bahuku pelan.

Tidak jadi beranjak ke kamar mandi, aku berjalan ke dapur untuk mengambil pisau kecil dan membuka paket.

Satu sweater rajut berwarna lilac terbungkus rapi dengan plastik bening dan logo khas toko favorit Rana untuk membeli bajunya. Ranaku bukan tipe yang suka menghamburkan uang hanya untuk selembar pakaian. Tapi, jika ia membeli sesuatu, toko ini selalu menjadi tujuannya.

"Bagus kan, Ma?"

Mama mengangguk. "She'll look pretty in this sweater."

"I know," jawabku pelan.

Aku menutup kembali kardus dan berniat untuk menyimpannya di kamar. Besok, aku akan membeli beberapa hadiah kecil untuk pendamping sweater ini di kotak hadiah.

Rana akan mengomeliku, sudah pasti. Tapi, tidak apa-apa. Ujung bibirnya yang gagal untuk tidak membentuk senyum kecil di antara omelan-omelannya cukup untuk menjadi bukti bahwa ada rasa bahagia di hatinya.

"Sa," panggil Mama, sambil mengusap bahuku. "Kamu sudah coba bicara dengan Rana tentang pisah rumah dari Bapaknya?"

Aku menghela nafas pelan.

"I've done it, so many times. Tapi gak semudah itu, Ma. Banyak pertimbangan yang Rana punya, dan aku gak mau membuat Rana merasa kalau segala pertimbangannya itu...gak berarti apa-apa."

"Mama cuma khawatir. It's really terrifying to imagine such a fragile and kind girl like her is spending her daily life like that."

"Ma, aku juga punya rasa khawatir yang sama banyaknya seperti Mama. I love her so much, Mama tahu itu. Tapi sekarang, yang bisa aku lakukan masih sebatas untuk selalu ada setiap Rana butuh aku."

"Tapi, kamu serius sama Rana kan, Sa? You're gonna marry her, right?"

"Of course, Ma. Tentu."

Mata Mama masih penuh dengan kekhawatiran. Ada rasa hangat setiap mengingat bahwa Mama menyayangi Rana sebesar ini. Tuhan begitu baik hati memberikan Mama sebagai sosok ibu di hidupku.

Aku peluk bahu Mama dengan lembut.

"One step at a time, Ma. Aku gak mau satu langkah yang salah dan buat Rana kehilangan rasa aman dan percaya yang dia punya untuk aku."

Mama diam. Kuputuskan untuk melanjutkan kalimatku.

"Terima kasih Mama sudah sayang Rana. It means a lot to me, and it means a lot more, to her."

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now