Pantone 3546C

68 5 0
                                    


trigger warning: domestic violence, abuse, knife.

kalau kalian merasa tidak nyaman atau punya trauma dengan trigger di atas, silakan dilewati untuk bagian yang ini.

~

[Rana]


"Apa ini?"

Belum sepenuhnya pintu ku tutup rapat, tapi suara Bapak yang emosi sudah menyapa. Kali ini entah untuk alasan apa. Kepalaku sakit, tubuhku lelah, pikiranku runyam, aku hanya ingin istirahat.

Bapak berdiri di depan pintu kamarku. Jika aku tidak habis menangis hebat tadi, mungkin sekarang aku sudah berteriak, mengamuk, menangis, karena lagi-lagi, entah untuk apa, Bapak masuk ke kamarku tanpa izin. Dengan mata yang berat, aku berusaha membalas tatapan Bapak. Raut wajah Bapak, seperti biasa, seperti sosok yang mampu membunuhku kapan saja. Di tengah hari seperti inipun, tidak berkurang rasa ngeri yang kudapatkan darinya.

Aku biarkan pintu tidak tertutup rapat sempurna. Perlahan, aku sentuh kantung depan dari celana panjang yang aku kenakan. Memastikan bahwa ponselku ada di sana. Entah untuk apa, seakan alam bawah sadarku menyuruhku untuk melakukannya.

"Kwitansi pembayaran kontrakan, terhitung April."

Tubuhku meremang seiring dengan suara Bapak yang membacakan kata demi kata yang tertulis di kertas dalam genggamannya. Kertas kwitansi pembayaran kontrakan yang baru saja kemarin ku dapatkan. Kertas yang kusimpan rapi di tumpukan baju dalam lemari.

"Ngapain Bapak buka-buka lemari aku?"

"Ditanya malah balik nanya."

Aku pejamkan mata erat-erat saat kulihat Bapak dengan cepat berjalan ke arahku. Selanjutnya ku rasakan kertas yang sudah berubah jadi bola akibat remasan tangan Bapak dilemparkan ke wajahku. Saat aku membuka mata, pintu di belakangku sudah ia tendang sampai rapat

"Ngapain? Mau kabur?"

Sakit luar biasa aku rasakan di kepala saat Bapak memukul kepalaku dari belakang. Tanpa henti, bertubi-tubi.

"Udah ketemu sama Ibu, sekarang mau kabur juga? Ikut kabur sama perempuan gak tahu diri itu?"

Ingin pecah kepalaku rasanya saat Bapak terus melayangkan pukulannya. Sebisa mungkin aku menghindar, namun yang kudapatkan dari hindaran itu justru tamparan yang meleset ke pipi. Tubuhku tersungkur begitu saja setelahnya. Aku merangkak secepat yang aku bisa untuk menghindar, namun ternyata masih kalah cepat dibandingkan tendangan kaki yang Bapak tujukan ke perutku. Untuk yang kedua kalinya, aku tersungkur.

"Bangun! Mau pindah, kan? Coba bangun. Sana, beresin barang-barang terus angkat kaki," ucap Bapak, tanpa nada tinggi. Telingaku berdering, seluruh alarm di dalam tubuh seakan berbunyi nyaring, tahu kalau tidak ada kata selamat setelah ini.

Dengan sisa tenaga yang ku punya, aku merogoh saku celana dan memencet angka 1 dengan cepat. Menahannya sampai aku yakin kalau panggilan darurat sudah terhubung. Dan semoga di sebelah sana, Mahesa menjawab panggilanku.

Kembali telungkup aku saat Bapak menekan punggungku dengan sepatunya. Ponselku tertekan di tangan yang terjebak antara lantai dan badan.

Tuhan, untuk apa aku sebenarnya diberi kehidupan?

Aku berontak, berusaha sekuat tenaga dengan hasil yang sia-sia. Semakin aku bergerak, semakin kuat injakan Bapak di belakang sana.

"Bangun. Banyak gaya mau hidup sendiri, udah punya apa emang kamu?"

Aku terengah-engah saat Bapak mengangkat kakinya. Secepat yang aku bisa, aku duduk. Menyembunyikan ponselku kembali ke dalam saku celana. Entah apakah panggilan daruratku sudah terjawab di seberang sana.

"Sana beresin baju!"

"AAAAAKH SAKIT!"

"SAKIT?!?! GINI AJA SAKIT?!"

Kulit kepalaku seperti akan lepas dari tengkoraknya saat Bapak menarik rambutku sekuat tenaga dan membawaku ke depan pintu kamarku. Semakin remuk tulang punggungku saat terbentur dinding dengan kencang.

"Sana. Coba beresin baju. Bisa gak?" Desis Bapak, seiring dengan cengkraman tangannya di leherku.

"Pak, aㅡaku bisa ma..mati."

Dengan pengelihatanku yang mulai menburam, masih tertangkap bayang-bayang senyum Bapak tersenyum miring seperti setan.

"Iya, bagus. Mati aja. Emang kamu hidup buat apa? Gak ada gunanya."

"KAKAAKK!"

Mataku terpejam, tapi dengan jelas aku masih bisa mendengar suara Mario berteriak. Dengan sisa nafas yang kupunya, aku membuka mata. Melihat Mario dengan kaki yang panjangnya belum seberapa, berlari ke arahku.

Mario, adikku, kenapa kamu pulang sekarang, sayang? Sekarang sedang tidak aman.

"Lepasin!!! LEPASINNNN!!! JANGAN CEKIK KAKAK!!!!" Amuk mario memukul-mukul kaki dan pinggang Bapak.

Menggeram, Bapak menendang Mario sampai terjungkal ke belakang. Di saat itulah, aku seperti terbangun. Kurang ajar!

Nyaris mati aku kerahkan semua tenaga yang tersisa untuk meninju Bapak keras di perutnya. Seperti tidak menduga akan ada perlawanan dariku, Bapak terhuyung dan melepaskan cekikannya.

Aku terjatuh, mataku berkunang-kunang, gelap sekejap kurasakan, sebelum aku kembalis adar kalau Mario masih menangis di sana.

Merangkak, aku hampiri adikku. Aku bawa ia ke dalam pelukanku, mengatur nafasku yang berantakan bersamaan dengan tangis Mario yang meraung.

Bapak menghampiri kami, namun sebelum ia sempat dekat, aku tendang tumitnya dengan kencang, buat Bapak jatuh dengan keras ke lantai.

Pintu keluar rumah terlalu jauh. Pikiranku yang panik membawa Mario masuk ke kamar dan menguncinya. Menahan pintu dari belakang dengan kursi. Hanya itu yang mampu ku lakukan untuk mengulur waktu, sebelum aku kembali terjatuh, mendapatkan Mario kembali memelukku di tengah tangisnya yang belum mereda. Semoga segera datang siapapun untuk menyelamatkan Mario, karena aku sudah tidak punya kekuatan tersisa.

"Kakakㅡhuks, kakak."

Aku menjawab isakannya dengan isakan lain. Tidak ada kata yang keluar, kepalaku sakit, leherku sakit, seluruh tubuhku sakit. Untuk berapa lama lagi aku harus merasakan sakit seperti ini?

Tidak sampai satu menit setelahnya, pintu kamar ditendang secara paksa dan terbanting terbuka sampai kursi yang menahannya terpelanting ke samping.

Bapak berdiri di sana, dengan sebilah pisau di tangan kanannya. Buatku melihat merahㅡpenuh rasa panik, akan bayang-bayang darah.

Di detik itu, yang aku pikirkan hanya, mungkin inilah puncak, sekaligus akhir dari semua rasa sakit yang selama ini aku rasa.

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora