Pantone 193C

105 8 0
                                    

[Mahesa]

Suasananya sungguh tidak nyaman. Aku mengutuk waktu dan takdir yang menempatkan aku, Rana, dan Mama di situasi yang luar biasa tegang dan canggung ini.

Kecuali Mario. Di sudut ruangan, ia kini sedang asyik main mobil-mobilan yang dibawakan Farhan dari ruangan spesialis anak.

Dadaku berdegup tidak nyaman.

Tidak seharusnya Mama datang di waktu tadi, membawakanku bekal, tapi justru malah mendengar ocehan Mario yang secara gamblang membuka kartu Rana. Kartu yang selama ini ia jaga rapat-rapat, kuat-kuat, dan aku sangat menghargai keputusannya.

Aku tidak punya pilihan lain selain ikut kecewa dan marah pada semesta atas terjadinya situasi tidak terduga ini. Bagaimana insecurenya Rana mengenai kehidupan pribadinya, aku paham sampai ke hati. Bisa kubayangkan bagaimana panik dan sedihnya kekasihku saat ini.

"Are you okay, sweetheart?"

Suara Mama lembut terdengar. Kafetaria rumah sakit yang sepi memberi ruang yang cukup bagi kami bertiga untuk duduk dan bicara. Meja bundar cokelat pekat khas kayu jati ada di tengah kami. Dari bawah, aku genggam tangan Rana yang sedari tadi tak berhenti diremasnya karena gelisah.

"Iya, Tante. Aku gak apa-apa," jawab Rana dengan suara kecil.

Dadaku mencelos. Kalau bisa, ingin aku bawa kabur saja Rana sekarang juga.

"Ada apa? Tante boleh tau, sebenarnya apa yang terjadi sama kamu?" tanya Mama dengan pelan. Seakan takut kalau Rana akan pecah jika Mama mengajaknya berbicara dengan volume suara nornal.

Aku paham betul kalau Mama berniat baik. Jelas terlihat kalau Mama tidak mau menyakiti Rana. Mama yang berbicara dengan pelan, tidak memburu-buru Rana untuk menjawab, memberi waktu sebanyak yang Rana butuhkan untuk mengambil nafas dan menenangkan dirinya.

Yang aku khawatirkan adalah Rana. Selama ini aku selalu melihat bagaimana tertutupnya Rana terhadap orang luar. Bagaimana ia tidak ingin siapapun mengetahui tentang keluarganya yang berantakan.

Aku tidak ingin Rana merasa tertekan dan terpaksa bercerita pada Mama.

"Ma, jangan ditanya apa-apa dulu Rananyaㅡ"

"Gak apa-apa, Sa."

Rana memotong ucapanku. Senyuman tipis yang tidak sampai mata ia tunjukkan padaku dan Mama.

Kekasihku ini terlihat sangat rapuh dengan perban di kepala, bekas infusan di punggung tangannya, dan mata merah yang berair menahan isakan. Melihatnya, hatiku rasanya hancur berserakan.

"Yang Tante dengar itu, benar. Aku...," Rana hembuskan nafas yang terputus-putus. "ㅡaku masuk rumah sakit tadi malam karena Papa."

Genggaman tangan Rana pada tanganku menguat. Setelah menyelesaikan kalimatnya, Rana memejamkan mata beberapa detik. Menahan nafas. Ia sedang menguatkan dirinya sendiri.

Aku merasa tidak berguna karena yang bisa aku lakukan hanya terus menggenggam tangan Rana, dan meyakinkannya kalau aku ada.

"Why would he do that? Kamu anak perempuannya, gak seharusnya seorang Ayah melukai darah dagingnya sendiri." Mama mulai emosi.

"Karena aku mengingatkan Bapak tentang Ibu yang udah lama pergi dari rumah."

Mama membelalakkan matanya. "Karena itu dia jadi benci sama kamu? Jadi dia memutuskan untuk melukai kamu, yang gak salah apa-apa?"

Persis seperti aku dahulu. Semua orang normal di dunia ini pasti akan berreaksi sama denganku dan Mama. Mengetahui fakta kalau ada seorang Bapak yang dengan sadar dan waras menyiksa anak gadisnya setiap hari, siapapun yang mendengarnya akan naik pitam.

"Ma, please. Calm down. You scare her." Aku coba menenangkan Mama yang mulai menaikkan suaranya.

"Kamu udah tau, Sa? Kenapa kamu gak ngelakuin apa-apa buat bantuin Rana?"

"Aku yang minta Mahesa untuk gak ikut campur, Tante. Maaf," ucap Rana, menjawab pertanyaan Mama sebelum aku sempat berkata apa-apa.

"Kenapa, sayang? Mahesa can help you. We will do anything to help you, dear."

Rana menoleh ke arahku. Air matanya yang menetes ia usap dengan kasar.

"Karena status 'kekasih' gak punya kekuatan apa-apa di mata hukum, Tante. Kalau Bapak marah sama Mahesa dan memutuskan untuk bawa hal ini ke jalur yang lebih rumit, makaㅡ"

Ucapan Rana terputus lagi. Bibirnya bergetar. Jelas ia menahan isakan.

Dadaku rasanya seperti dihimpit beban ribuan kilo gram melihat Ranaku seperti ini.

Satu tetes air mata jatuh lagi di pipi Rana, kemudian kurasakan genggaman tangannya menguat kembali.

"ㅡwe will not be able to meet each other anymore."

~

a.n

Halo! Sepertinya ini author's note pertama di cerita ini.

Hmmm aku cuma ingin bilang kalau setelah ini everything is going to go downhill, please brace yourself :( BUT dont worry!! Selalu ada cahaya di akhir terowongan yang gelap gulita. Aku harap kalian akan terus baca cerita ini because thats the only thing that keep me going <3

Oh iya, aku juga mau kasih tau kalau mungkin kalian akan lihat content dan trigger warning untuk chapter2 selanjutnya. Kalian bisa skip kalau konten2nya mentrigger kalian. Your well being is the main priority.

Lastly, please stay healthy and see u on the next chapter :)

Warna Warni Cerita Kita ㅡ [COMPLETED]Where stories live. Discover now